Rabu, 14 Februari 2018

Tentang Dica.

Secangkir kopi baru gue seduh.

Pagi ini gue menatap lagi layar laptop, melihat lagi tulisan lama, mengingat lagi semua yang enggak ingin gue lupa. Gue ingin istirahat sejenak dari belajar, ya meski pas belajar banyak istirahatnya. Sekarang, gue hanya ingin menulis, apapun tentang kami, dari sisa kenangan yang masih gue ingat, dan melibatkan sedikit perasaan.

Ada satu kalimat yang menganggu gue akhir-akhir ini, yaitu: ‘Semua orang punya kisah cinta SMA-nya masing-masing.’ Dan satu kalimat lagi dari keterangan foto instagram adik kelas gue sewaktu SMA, ‘Setiap orang pasti punya perjalanan menyembuhkan luka.’

Dan dari tulisan berikut yang gue temukan dari linimasa LINE, dari akun yang bernama Aldiii, judulnya:

Menjadi Dilan.

Halo kalian para Wanita cantik diluar sana.
Terlalu luas.
Halo kalian para wanita cantik yang sudah membaca buku “Dia Adalah Dilanku 1 dan 2, dan Suara Dilan”
Halo Kalian para Pria yang membaca juga dan berusaha menjadi Dilan, supaya dapet cewek.
Pakabs? (asik banget pembukaannya ya) :(

Well, ada hal sedikit aneh pada setiap orang yang sudah membaca Dilan, Pertama dulu, saya sudah menggemari Pidi baiq jauh sebelum dia menulis Dilan, lewat The Panas Dalam di youtube dan twitter (bagi yang gatau itu bandnya yang lagunya nyeleneh tapi asik), surayah atau pidi baiq juga nulis buku selain itu, serial drunken dan al-asbun, walaupun di smt 2 kemaren saya baru baca sisanya karena nemu di perpus, dan jujur buku pertama yang saya baca adalah Dilan, karena itu booming banget, dan saya bisa minjem ke temen yang udah beli.

Saya langsung menebak bahwa Dilan adalah Pidi baiq itu sendiri, karena kalo kalian baca blognya, gayanya maupun latar belakangnya surayah memang persis Dilan, Walaupun di Twitter Pidi Baiq bilang, bahwa dia bukan Dilan dan nge tweet “Dilan adalah dirimu yang kau biarkan tertidur”.

Saya langsung dapat mengambil kesimpulan lain, bahwa Dilan tergantung masing-masing, dilan kaya Puisi, gimana intrepeter nya, mau itu Ayahmu, kakakmu, bahkan kamu, kang Pidi memberikan kebebasan untuk menebak.

Walaupun saya masih yakin bahwa Dilan itu adalah Surayah sendiri.

Lalu sekarang, Dilan sudah mau dibuat movie nya. dan Iqbal CJR menjadi Dilannya. dan sekali lagi memang netizen senang sekali komentar, banyak yang gasetuju rata-rata.

Oh, ayolah teman teman, iya saya tau Iqbal memang lebih mirip santri soleh daripada anak geng motor yang mau bakar sekolah, tapi kalian tidak dapat memaksakan Dilan di kepala kalian dengan kepala orang lain, Dilan kalian ya punya kalian, punya saya ya punya saya. jadi mau itu Kakekmu yang menjadi Dilan, yaudah, itu interpretasi dari satu individu, dan mungkin intrerpretasi dari yang mau buat film nya ya dia.

Tapi, yaudahlah ya..

Bukan, bukan itu yang mau saya bahas.

ini...

Setiap respon bagi yang pernah baca Dilan, saya simpulkan.

Jika itu cewek.

“Ahh romantis banget, sisain yang kaya Dilan, satu aja”.

Jika itu cowok.

“Ahh, T*i, bisaan euy si Dilan” seolah dilan dan dia sudah akrab banget.

Sampe ada temen saya yang ayahnya adalah anggota geng motor dulunya, bertanya pada sang ayah “kenal gak sama yang namanya Dilan?” saking penasarannya atau, “Gak kepikiran ya sama urang cara Dilan deketin cewek” atau bahkan “padahal urang juga kaya gitu” (mencoba menyamakan diri)

Bahkan beberapa komentar di bukunya menyebut “Buku ini adalah kitab bagaimana cara mendapatkan Wanita, berbahaya”

Saking mempesonanya Dilan merebut hati Milea, dengan cara yang sederhana.

Di buku suara dilan, dilan menyebutkan “Saya tidak seperti itu, ini diri saya, jika Milea menyebut saya seolah saya itu adalah orang paling romantis di dunia, ya itu pendapat Milea, tapi saya tidak Sebegitunya” (ini bahasa saya, tepatnya saya lupa).

Dan di buku tersebut Dilan melengkapi cerita Milea.

Oke, selesai sebetulnya, menikmati karya surayah, udah beres. beres. titik.

Tapi setiap respon para wanita itu saya dengar, kesannya jadi annoying dan mengusik saya untuk menulis ini.

“ahh, Romantis banget”.

“ahh, sisain satu”.

dan ahh ahh yang lain.

Lalu timbul semacam kesan, yang cewek mencari Dilan, yang cowok meniru Dilan.

Dilan.. Dilan.. Dilan..

Dan, Hai ayah Pidi, Hai Dilan, bukumu menyihir sejuta umat, di sosial media, maupun dunia nyata, untuk berlomba-lomba menjadi dirimu (Untuk Cowok)

Dan mendambakan kamu (Untuk cewek)

Dan berarti buku itu bagus, karena pikiranmu tersalurkan dengan baik.

Oke, saya mau bahas untuk siapapun tanpa bermaksud menyepet siapapun para wanita yang bilang “Semoga aku mendapat yang kaya Dilan yang dapat mencintai mileanya dengan caranya sendiri tapi romantis”

Atau tidak Dilan saja.. misal “Semoga aku mendapat yang kaya si “anu” yang begini yang begitu”

Baiklah, jika kalian menuntut para laki-laki untuk menjadi Dilan.

Maka, kami juga menuntut kalian untuk menjadi Milea.

Gimana?

Sekarang mari kita bahas.

Apakah kalian dapat mengistimewakan seorang laki-laki seperti layaknya Milea mengistimewakan Dilan?.

Apakah kalian dapat menerima hal sederhana dari laki-laki seperti Milea yang menganggap mewah semua pemberian dilan?.

Milea bilang, selalu bilang “Dilan itu baik” “Kang Adi itu menyebalkan” dengan menyertakan “Itu pendapatku”. itu pendapat Milea. so, bisakah kalian mengikuti pendapat Milea?.

Misal, jika seorang pria memberi kalian TTS bekas, cuma dengan tulisan “aku gak ingin kamu cape ngisi” sebagai bentuk pdkt, kalian mau terima TTS itu?. gak bilang “Apaansih ******** (semacam kata kasar)” dengan tanda seru?.

Misal, jika kalian cuma diajak jalan-jalan malem-malem keliling buah batu, palasari dan daerah sekitarnya lalu pulang lagi, kalian gak akan ngerajuk untuk dibawa ke tempat yang mewah?.

Atau, nge date kalian cuma di warung kopi sekitaran Gatsu, sama bala-bala dan gehu, dan kopi hitam, kalian gak minta restoran?.

Karena jika kalian para wanita cantik pujaan hati, menerima kesederhanaan juga, kami akan dengan senang hati menjadi “Dilanmu” itu.

Karena saya rasa, di pikiran saya, di otak saya, Dilan cuma cowok biasa, anak geng motor yang nakal, yang kelakuannya nyeleneh, dan udah.

Saya dulu kebanyakan berteman dengan sifat yang sama, latar belakang yang sama di daerah saya dulu, sifat yang sama kalo ceweknya diganggu, ya mending berantem aja, sifat yang sama kaya misalnya cuma ngasih aqua gelas pas ulang tahun ceweknya, ya, saya pernah ketemu dengan orang seperti itu, dan biasa aja.

Milea lah yang membuat Dilan begitu istimewa, Milea tau cara memperlakukan Dilan, cara memancing “Dilan” itu keluar, Milea kan yang berargumentasi bahwa TTS itu romantis, bahwa jalan-jalan konvoi geng motor itu seru, yang perhatian dan jatuh cinta dengan dilan, ya Milea.

Ya, walaupun awalnya Dilan yang eksentrik itu yang memulai “Meramal”. tapi Milea membuat Dilan nyaman dengan bagaimana cara dia memperlakukan peramal gaje yang mau pdkt, memancing percakapan, membuat Dilan menjadi dirinya sendiri, ya, Menjadi Dilan.

Sok bayangin kalo Dilan datang meramal, terus Milea bilang “Apaansih gaje”.

Atau Dilan datang ke rumahnya Milea mengaku sebagai utusan kantin, terus Milea bilang ke papahnya “Pah, surat itu dari orang gajelas yang nguntit Milea, Milea takut dia dateng lagi”.

Mungkin sekarang Dilan sudah ditembak papahnya Milea yang tentara itu.

Atau saat Milea tau Dilan anak geng motor dia langsung menjustifikasi “Ih Dilan pasti nakal, amit-amit, akumah gamau sama anak geng, paling kerjaannya tawuran, dan biasanya bodoh”.

Mungkin cerita romantis Dilan Milea cuma sampai situ, Milea pun tidak akan tahu fakta “Walaupun Dilan cuma bawa satu buku, dia itu pintar”.

Atau saat Dilan masuk ke kelas Milea dan jadi pura-pura jadi Murid, Milea udah enek duluan dan lapor ke guru.

Tamat lah cerita romantis itu.

Karena Dilan pun, kalo gak di respon sama Milea-nya, tidak di istimewakan sama Milea-nya, dia akan biasa biasa saja.

Karena jika Milea tidak mengistimewakan Dilan, maka Dilan akan sama menyedihkannya dengan Kang Adi.

See the point?

Yap, jika kalian berpikiran terbuka seperti Milea, mampu menerima candaan seperti Milea, mampu menerima yang sederhana seperti Milea, kami para cowok juga, bahkan semua cowok saya rasa, dapat menjadi Dilan. walaupun tidak bersifat Dilan, tapi, kami diistimewakan, seperti Milea mampu mengistimewakan Dilan, ya tentu saja akan membawa feedback Wanita merasa diistimewakan juga.

Kesimpulannya.

Kalian cuma harus menjadi Milea juga.

Tapi jika kalian ingin dicintai sebagaimana diri kalian, maka berhenti berharap dicintai oleh orang seperti Dilan, karena, kami sebagai kami, punya cara masing-masing mengistimewakan Wanita, punya cara tersendiri mencintai seorang wanita.

Dan kami mencintai wanita pun karena apa yang ada di diri wanita tersebut.

Maka kami dengan diri kami sendiri punya cara masing-masing mencintai wanita yang punya cara sendiri juga mengistimewakan laki-lakinya.

Jadi sederhana bukan.

Jadi diri sendiri, dicintai pula dengan orang yang menjadi dirinya sendiri, mencintai pula orang yang menjadi dirinya sendiri.

Biarkan Dilan dan Milea punya cerita tersendiri, mengenai cara mereka mengistimewakan hubungan, dan kalian pun dapat punya cerita sendiri, cerita Dilan dan Milea versi masing-masing.

Hanya harus belajar cara mengistimewakan yang sederhana, atau merubah hal yang sederhana menjadi begitu istimewa.

Atau bagaimana?

Ya itu terserah kalian

Karena bentuk istimewa sendiri itu abstrak, jadi kalian punya pikiran tersendiri mengenai apa itu istimewa, apa itu mengistimewakan hubungan.

Sama seperti tulisan ini juga terserah saya. kalian setuju atau tidak, terserah kalian, jadi silahkan kembali, dan perihal kalian menyesal atau tidak membaca sampai sini, itu urusan kalian.

NB ; Tulisan ini pun terinspirasi dari kedua teman saya yang udah saling nyaman tapi gajadian jadian.

Mereka orang terupdate yang saya temui, yang dapat mengubah hal sederhana menjadi asik.

He He.

-Dari yang Lagi dengerin lagu Float.

A.E.

Ciwaruga - 2017.

***

Gue hanya mau cerita tentang kisah cinta sewaktu masih SMA.

#2

Cerita ini belum lama terjadi, kedekatan kami berawal sekitar pertengahan Bulan Desember tahun 2015 sewaktu gue kelas dua SMA. Waktu itu, sekolah sedang mengadakan pameran sekolah yang dibuka untuk umum. Acara setiap dua tahun sekali, selesai ujian akhir semester, seminggu sebelum pembagian rapor.

Gue adalah pengurus OSIS sewaktu SMA, tapi waktu itu tidak masuk kepanitiaan acara pameran sekolah, karena panitianya dari kelas dua belas. Acara pameran ini termasuk program kerja OSIS juga. Kalau acara ini tidak memenuhi tujuan program kerja, tetap kami yang harus bertanggungjawab.

Di tengah lapangan berdiri sebuah panggung untuk acara hiburan, promosi sponsor, dan lain-lain. Setiap ekstrakulikuler membuat stan masing-masing di setiap kelas yang mengelilingi lapangan untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Sejak dulu, ekstrakulikuler sastra selalu jadi pusat perhatian dari acara ini. Biasanya membuat stan semacam rumah hantu. Pengunjungnya selalu ramai.

Suatu sore kalau tidak salah Hari Jumat, Si Lina sekertaris OSIS sedang ngobrol sama seorang kakak kelas yang juga seniornya di Bantara. Sore itu, dia juga sedang menjaga stan sastra. Dan sore itu juga, mungkin dia baru tahu, kalau gue juga ada di sekolah ini. Gue merasa enggak terlalu terkenal di sekolah, dan kakak kelas yang mengenal gue hanya beberapa.

Sore itu gue tidak banyak bicara hanya banyak senyum, mendengarkan Lina dan seniornya bercandan. Sampai dia bilang, ‘Haus ih. Minta minum.’

‘Enggak ada lagi aku juga.’

Sore itu, dengan keinginan sendiri, gue beli air mineral prim-a 600ml di kopsis, lalu memberikannya. Dia sedikit terkejut, sambil bilang, ‘Ini beneran?’

‘Iya, buat teteh.’

’Makasih..’ kata dia sambil senyum, ‘nanti diganti ya?’

‘Gak usah..’ kata gue sambil menggeleng kepala, lalu pergi ke lantai dua karena enggak mampu berdiri lama dekat dia,

‘Ih, beneran?’ tanya dia,

Gue menoleh, ‘Iya..’

‘Makasih, Ali..’ kata dia,

‘Iya..’ kata gue ketika sampai di lantai dua, dan sore itu berakhir dengan perasaan yang tumbuh dan sulit untuk bisa dijelaskan.

***

#1

Awal gue tahu dia itu sudah lama. Dia adalah anggota bantara di sekolah gue. Setiap Hari Jumat, sekitar jam satu siang setelah solat jumat, biasanya anak kelas sepuluh latihan pramuka untuk persiapan Perkemahan Pelantikan Tamu Penegak, biasa disingkat PPTT. Gak tahu siapa yang menyingkatnya, harusnya sih, PPTP.

Mau bilang bego tapi gak berani, ya, pasti yang menyingkat adalah senior kami terdahulu. Gue takut dihukum push-up sambil ngupil.

Anehnya, setiap Hari Jumat, matahari selalu terik. Jarang terjadi mendung atau bahkan hujan yang deras. Yang terjadi keringat dari ketek gue selalu deras, membuat bekas di baju pramuka gue. Kayak iler baru bangun tidur yang membanjiri bantal.

Meski panas matahari sangat menyengat kulit, gue tidak pernah absen, gue selalu hadir untuk latihan pramuka. Tidak seperti teman sekelas gue sewaktu kelas sepuluh, Si Ami.

Gue rajin latihan alasannya sederhana. Mau pura-pura izin, orang tua gue gak bisa nulis surat izin. Bukan karena buta huruf, gue terbilang anak yang rajin ke sekolah, coba lihat rapor gue, pasti enggak ada alfa, izin, dan sakit pun jarang. Kalau gue masih bisa berdiri, gue tetap sekolah. Karena di luar sana masih banyak anak kurang beruntung yang tidak sekolah, gengs!

Gak deng, kalau gak sekolah, gue gak dapet uang jajanL

Diantara terik yang menyengat, ada penyejuk ruangan yang terkadang lewat di depan barisan satu angkatan. Membuat gue kagum, bergeming, dan hanya curi-curi pandang. Mau ajak kenalan pun, gak berani. Gue bisa tahu namanya bukan karena ngajak dia kenalan, anak laki-laki satu angkatan gue tahu, gue juga jadi tahu.

Saat itu, gue hanya mengaguminya. Tidak pernah terpikir, gue bisa ngobrol atau bahkan berbagi cerita sampai larut malam. Saat itu, gue hanya penegak biasa, yang enggak ganteng-ganteng amat.

Beberapa minggu setelah perkemahan selesai. Gue dengar, dia dekat sama salah satu teman dari angkatan gue, rekan kerja gue di OSIS juga, namanya umm, siapa ya? Oke, kita samarkan, namanya Diki.

Gue tidak patah hati saat itu, karena gue hanya sebatas ‘kagum’, enggak lebih. Saat itu juga, gue sedang mengejar cinta yang lain. Dan, semuanya berubah, ketika acara pameran sekolah pertengahan bulan December 2015.

Di acara SSF itu, hubungan Diki dan dia mulai entah bagaimana bentuknya. Gue meihatnya seperti dua orang yang sedang marahan, tapi masih saling peduli. Dengan rasa penasaran, gue langsung tanya kepada Diki. Sebagai pembelajaran, kalau-kalau hubungan mereka renggang, dan gue bisa menggantikan peran,  gue tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti Diki. Licik emang.

Gue emang teman yang microchiroptera banget.

‘Dik, kenapa kok, hubungan kalian jadi renggang?’

‘Gak tau, dia sebenernya deket sama Si Ami. Kamu tau kan, gimana? Penakluk perempuan gitu, lah. Atuh, aku teh khawatir dia baper atau kenapa-kenapa. Aku juga udah bilang ke dia, kalau Si Ami tuh gini, gitu.. tapi keukeuh tetep deket.’

Ami teman sekelas gue, teman satu geng-nya Diki, dan anak yang jarang pramuka dan mentaati adat ambalan. Diki khawatir saingan sama dia, gue pernah punya pertanyaan kalau dia tahu bakal saingan sama gue khawatir gak, ya? Ah, palingan enggak, gue kan gak ganteng-ganteng amat.

Dan akhirnya, gue mendengar kabar Diki dan dia benar-benar pisah. Entah, perasan gue saat itu, antara senang atau sedih. Jadi gak tega juga kalau mau ngejar mantan pacar teman gue sendiri.

Dengan maksud supaya Diki enggak mikir yang aneh-aneh, gue dengan berani meminta izin ke Diki. Eh, masih cemen deng, kalau berani ke papah-nya. Oke, gue ganti kalimatnya: gue dengan cemen meminta izin ke Diki.

‘Dik, aku mau deketin dia, boleh?’

‘Ya, mau aku ngizinin atau enggak, hasilnya bakal sama.’

‘Maksudnya?’

‘Dia pernah cerita,–‘ kalimatnya terhenti, ‘Eh, enggak deh.’ Lalu pergi.

Salahnya gue saat itu, gue minta izini pada minggu-minggu pertama saat mereka baru pisah. Iya, gue emang sedikit bego soal ginian.

***

#3

Setelah kejadian pertengahan Bulan Desember sore itu, gue mulai menikuti akun ask.fm dia sambil minta ikuti balik.

Gue iseng cari akun Line-nya dengan cara menulis ID ask.fm-nya. Eh, ternyata sama. Dari situ, gue mengumpulkan keberanian buat menghubungi dia duluan. Di depan layar laptop, dengan kursor yang terus berkedip, gue bingung. Entah mau menulis apa, akhirnya, gue tulis lalu mengirimnya.

Ali : Umm, hai..

Dia : Siapa nih? haha

Ali : Power Rangers.

Dia : Waaaa

Dia : Ali fotonya keren iih

Ali : Foto apa? ‘-‘)

Dia : Foto line

Ali : Iya, nyari yang paling ganteng..

Ali : biar enak kalau ngobrol

Dia : Idiih gajadi ah sereem sukanya sama yang ganteng’

Ali : ya ampun-__-

Ali : Eh, teteh follow instagram aku ya?’

Waktu itu, gue sudah enggak lagi buka instagram. Tapi saat itu gue niat banget, buka lagi instagram buat mencari akun dia dan foto-fotonya. Dan saat gue buka pemberitahuan, ternyata dia mengikuti akun instagram gue. Gue terkejut dia sudah follow instagram gue.

Malam itu, percakapan kami mengalir begitu saja. Rasanya nyaman ketika ngobrol sama dia meski tanpa suara. Dia itu perempuan yang beda. Gue tidak merasa seperti sedang wawancara. Kami saling bertanya, saling menjawab, dan selalu berakhir dengan senyum mesem-mesem di wajah gue ketika dapat balasan pesan dari dia. Sejak percakapan malam itu, gue bisa merasakan, perasaan ini tumbuh semakin besar.

***

#4

Banyak yang kami bicarakan. Dari ngobrol masa lalu masing-masing, guru yang disuka dan gak disuka, main gombal-gombalan, sampai mimpi-mimpi kecil yang kami miliki masing-masing. Banyak gombalan yang bikin gue baper banget, terutama soal ngajak nikah.

Ali : Teh, sebelum matahari terbit, bangun candi yuu?

Dia : Hah? Ali aja yang bangun, aku yang gagalin.

Ali : yaaaah digagalin

Ali : yaudah deh, gimana kalau bangun rumah tangga? #Renyah

Dia : Hahaha biar bisa dikenang orang lain iih

Dia : Aduuh jadi pingin nikahL

Ali : yuuu lah, der..

Ali : Kalau dikenangnya gitu, gak keren-_-

Emang sedikit geli. Tapi, gue malah kangen hari-hari terbaik itu.

Dari percakapan kami yang menurut gue berharga. Kami berdua sama-sama setuju, sama-sama sepakat, bahwa cinta itu tidak untuk mengekang. Kami sama-sama tidak suka hubungan yang terlalu mengekang, bahwa kehidupan itu bukan hanya tentang pacaran saja, tapi waktu untuk keluarga, sahabat, dan mimpi yang kita punya masing-masing. Kami sama-sama setuju.

Ali : Teh, foto bareng yuk?

Dia : Yuk foto bareng.

Ali : Biar ada gosip di antara kita.

Dia : Hahaha, ngincer gosip kamu mah..

Mimpi kecil.

Dulu, dia juga sering cerita ke gue, tentang mimpi kecil yang dia punya: pengin banget masuk jurusan teknik kimia.  Meski sampai sekarang gue belum tahu pasti kenapa dia pengin masuk jurusan itu, waktu dulu, gue sering mendukungnya ketika dia ragu sama pilihannya. Gue selalu bilang dengan kutipan kesukaan dia dari Walt Disney. ‘If you can dream it, you can do it.’

Gue : Teteh pasti bisa. Teteh inget kan, kata-kata Walt Disney, kalau kamu bisa bermimpi, kamu bisa mewujudkannya.

Dia : Oh iya, ya. Makasih ya, AliiiJ

Dari keinginannya, gue jadi punya panggilan tersendiri untuk dia, setelah malam-malam yang kami lewati sama-sama, gue memanggilnya Teh Dica.

Karena jurusan Teknik Kimia, salah satu sifat larutan adalah asam. Asam dalam Bahasa Inggris yaitu, acid. Gue balik deh, susunan hurufnya jadi Dica. Terus asam juga punya derajat keasaman kurang dari tujuh. Nah, teh Dica ini punya derajat keasaman kurang dari tiga (pH "<" 3). Arti pH di sini bukan derajat keasaman. pH di sini adalah singkatan dari:

[p]endamping [H]idup"<"3. (emote lope-lope = yang dicintai)

Iya, mungkin berlebihan. Tapi gue juga punya pendapat dan perasaan istimewa yang lebih untuk Teh Dica. Harap maklum, dan jangan protes kepada gue yang dulu, karena masa lalu enggak bisa mendengarnya. Dan bagi gue, hal itu enggak berlebihan untuk orang yang lagi jatuh cinta. Hehe.

Dulu, dia juga pernah cerita kalau dulu penampilan dia tidak seperti sekarang. Enggak pakai kerudung, kurus, dekil, dan sebagainya. Tapi, semenjak suka sama seseorang yang dia sebut Manusia Salju, dia berubah. Pakai kerudung, dan mulai memagari giginya supaya rapi.

'Aku tebak, satu organisasi ya?'

'Kok tahu?'

'Perempuan biasanya gitu, masuk organisasi supaya dekat sama orang yang dia suka.' Itu masa lalunya, dan terserah, malam itu gue hanya ingin bicara dengan dia lebih lama.

Kalau gue hitung-hitung, gue lahir beda dua bulan dua minggu dari hari kelahirannya. Salah satu bagian konyol yang gue ingat tentang hitungan hari, gue sampai ingat jadwal datang bulannya. Pikiran gue sederhana waktu itu, supaya ketika lagi chatting pas Teh Dica datang bulan, gue enggak mengingatkan solat. Pernah gue tanya langsung di depan masjid, ‘Eh, udah solat lagi?’

‘Iya. Kenapa emang?’

‘Kemarin lagi datang tamu, kan?’

‘Eh, kok tahu?’ Iya, gue dongo banget waktu itu.

Di sekolah, daerah senior dan junior terbagi menjadi dua tempat. Kampung dan Kota. Di daerah Kampung biasanya di isi oleh kelas sebelas dan dua belas. Di daerah kota biasanya di isi oleh kelas sepuluh.

Kampung adalah tempat yang sepi, dan jarang orang yang lewat. Ditambah lagi banyak tumbuhan hijau yang tumbuh di daerah kampung. Suasana yang lumayan nyaman buat belajar. Kalau Kota adalah tempat yang sangat ramai, sering banget dilalui orang-orang. Di kota terdapat lapang olahraga yang selalu ramai ketika pelajaran olahraga. Itulah kenapa, disebut kota.

Letak kelas sebelas dan kelas dua belas berseberangan. Jajaran kelas dua belas berada di sebelah utara, jajaran kelas sebelas berada di sebelah selatan. Bangunan kelas sederhana yang punya dua tingkat. Bedanya, kelas dua belas sudah direnovasi, yang tadinya satu tingkat, jadi dua tingkat. Lebih bagus dari bangunan kelas sebelas. Bisa dibilang, sekarang kampung udah berubah jadi rumah susun.

Kelas gue dan teh Dica ada di tingkat dua. Dari dalam kelas di sebelah selatan, gue sering melihat keluar jendela, berharap dia lewat di lorong kelas utara. Meski terkadang gue hanya melihat pundaknya berlalu, dengan cara jalan yang sekarang gue rindukan.

Cara jalan Teh Dica lucu, berbeda dengan cewek kebanyakan. Bisa dibilang, kurang anggun. Pundakanya selalu turun, seolah malas untuk melangkah. Rasanya, pengin deh, gue bilang, “Sini, genggam tangan aku. Ayo kita melangkah bareng-bareng.”

Setelah dia genggam tangan gue, mungkin dia bakal mandi setiap hari.

Pernah, sewaktu gue ulang tahun tanggal 13 Januari 2016. Gue datang lebih pagi ketika dia sedang ada pemantapan untuk UN. Gue bawa satu kantong plastik serabi hangat depan sekolah, karena dia suka lupa sarapan. Tapi hari itu dia menolak, karena katanya bawa bekal. Gue kecewa, takut dia berbohong karena takut merepotkan gue. Sepulang sekolah, gue chat dia dan dia bilang, 'Aku beneran bawa bekel, inget kata-kata kamu.', gue senyum-senyum sendiri membaca itu.

Percakapan kami suatu malam:

[22:28] Teh Dica : Hahahha tadi katanya mau tidur
[22:28] Ali. : Enggak, aku lagi lihat acara apaan di Indosiar,
[22:29] Ali. : kayaknya miss world gitu, cenghar deh, hahaha
[22:29] Teh Dica : Idiih dasar cowo
[22:29] Ali. : gak, boong:3
[22:30] Ali. : lagi liatin foto teteh..
[22:30] Ali. : matanya bagus, ada dua
[22:30] Teh Dica : Foto dimana?
[22:30] Ali. : line
[22:31] Teh Dica : Emang kamu ada berapa matanya?
[22:31] Ali. : dua juga sih..
[22:32] Teh Dica : Atuh sama ajaa
[22:32] Ali. : Iya ih, jangan-jangan kita jodooh:3
[22:33] Teh Dica : Hahaha jodohnya banyak dong
[22:34] Ali. : Enggak doong, kan cuma mata kita yang menatap satu sama lain

Dari beberapa malam yang kita lewati bareng-bareng, gue juga tahu maksud dari kalimat Diki. Katanya, dia tidak diizinkan untuk pacaran. Waktu bareng Diki, katanya teh Dica sering disindir kakaknya, ayah-nya, dan umi-nya. Gue mengerti, dia gak boleh buat pacaran.

Tapi, setelah gue pikir lagi, ternyata lebih nyaman seperti ini. Gak ada status, tapi gue senyum-senyum sendiri ketika dapat balasan pesan singkat dari dia, deg-degan menunggu kabar dia, khawatir saat belum lihat dia di sekolah. Ya, hubungan kami hanya seperti itu, tapi gue salalu diam-diam berharap bahwa dia akan menganggap gue sebagai seseorang yang istimewa.

Suatu hari, gue iseng lihat akun instagram Diki. Dan sedikit ada perasaan sesak di dada, ketika lihat foto dari masa lalu mereka berdua. Entah apa yang ada di pikiran gue waktu itu, gue bilang ke dia, ‘Enak ya, jadi Diki. Pernah foto bareng sama teteh.’

‘Iya ih, waktu itu foto bareng gak jadi.’

***

Semua yang indah itu harus berakhir. Dengan waktu yang menurut gue sangat singkat. Paket modem gue habis, koneksi internet dari sekolah dekat rumah gue dicopot. Semua menuju ke selatan, ke bagian terburuk dari cerita gue dan dia.

Ternyata, dia masih sering chat sama Ami, dan bisa dibilang dekat. Gue jadi sedikit takut kehilangan dia. Gue juga mulai kehabisan bahan buat ngobrol sama dia karena tidak ada sisa percakapan kemarin yang bisa gue lanjut untuk gue obrolkan hari ini.

Ketika ada kesempatan chat, untuk memulai topik baru pun, dia bales agak lama dari biasanya, ya sekitar enam atau tujuh jam, yang biasanya cuma satu atau dua menit. Dia mulai fokus buat UN.

Gue juga mulai jarang lihat dia di sekolah atau sekadar papasan kemudia saling sapa sama Teh Dica. Gak jarang gue lihat, dia deket sama cowok seangkatannya. Gak jarang juga gue mendengar kabar yang kurang enak di telinga.

‘Dia udah dianter sama Kang itu...’

‘Dia kan lagi deket sama...’

Sementara gue, tidak pernah dikenal atau digubris keberadaannya. Mungkin, kembali ke awal, gue hanya penegak biasa yang gak ganteng-ganteng amat. Dari titik ini, gue menyerah.

Sampai di acara perpisahan angkatan dia. Dia mengabulkan permintaan gue buat foto bareng. Gue masih ingat, dia memakai gaun merah jambu waktu itu, warna kesukaan dia. Dan gue hanya memakai kaus pemberian Amanda dan jas panitia OSIS. Terlihat kumal, dan tidak terurus. Mirip gembel yang pakai jas.

Saat itu hampir di akhir acara, sore hari, dan hujan turun. Setelah beberapa kali dia foto bareng dengan teman-temannya akhirnya dia mendekat ke arah gue yang sedang memegang kamera orang. Kami berfoto dekat ruang OSIS dengan dua kamera berbeda. Kamera yang dia punya dan kamera yang gue pegang.

Hasilnya bagus. Di kamera yang gue pegang buram semua. Di kamera yang dia punya ada yang buram dan ada yang jelas. Di kamera dia terlihat seperti gembel berjas yang berfoto dengan putri dari kerajaan. Beauty and the gembel berjas.

Gue memberi dia bunga, tapi dia tidak menerimanya. Iya, bunga itu bunga plastik yang gue temukan di kelas. Lalu, dia menyeberangi hujan, yang sebelumnya gue tawarkan jas gue untuk melindunginya dari hujan, tapi dia menolak. Dia pergi, mendekati seseorang. Dan gue tahu, dia adalah Ami.

***

14 MEI 2016 – Gue memakai foto profil sambil memegang bunga yang tidak dia terima. Malam itu kami masih saling bicara, tapi tidak dengan cara yang sama. Dia lebih dingin, lebih singkat membalas pesan.

[22:08] Gue : Selamat malam..
[23:12] Teh Dica : Eh li itu bunganya masih ada aja
15 MEI 2016 –
[04:49] Gue : Eh, kok belum tidur jam segitu?-,-
[04:49] Gue : Iyaa, aku simpan, hahaha
[04:50] Gue : Aku pernah cerita gak? Eh di blog juga ada kalau gak salah, tentang 'bunga yang mengering dengan sendirinya'
[04:50] Gue : Bunga itu masih ada, dan mati kering..
[10:29] Teh Dica : Hehehe􀂌
[10:29] Teh Dica : namanya juga bunga mati Ami--”
[10:30] Teh Dica : Eh salah nama ali maafkan
[10:30] Teh Dica : Tadi di sana yg salah aih gafokus
[10:30] Teh Dica : Itu postingan kapan? Baru?
[16:43] Gue : Lama, judulnya perpisahan sekolah.. yg smp.
[16:43] Gue : Mbb ya, habis bantu p4
[16:44] Teh Dica : Nanti aku baca deh..
[16:45] Teh Dica : Oh pelantikan pmr ya?
[16:45] Teh Dica : Ali gamarah kan li?

Dari titik ini, gue sadar. Ada orang lain yang lebih banyak terlintas di kepalanya. Gue sampai pernah bilang:

[18:27] Ali. Hmm... Si kampret bisa bikin senyaman apa ya?
Bisa bikin teteh sampe lupa lagi chat sama siapa.
Pasti dia selalu ada, waktunya lebih banyak daripada yg aku punya, pasti bisa bikin teteh nanya juga gak cuma wawancara (yang satu nanya aja, yang satu cuma jawab), pasti... Apapun itu, yg bisa bikin teteh sampe lupa lagi chat sama siapa..
[18:35] Ali. Aku selalu nanya, teteh kemana pas gak lagi chat sama aku..
[18:35] Ali. Nanya ke diri sendiri
[18:36] Ali. Then i know,
Gue singkat-singkat saja percakapannya ya.
[19:01] Teh Dica Ali jangan gini dong li, akunya takut ..
[19:54] Ali. Aku juga takut
[20:06] Ali. Kalau aku pergi, mungkin teteh gak bakal takut lagi ya
[20:13] Ali. Ilang nih?
[20:19] Ali. Keluar dooong
[20:19] Ali. Buat yang terakhir kali..
[20:20] Ali. 20:20
[20:35] Teh Dica Jadi mau pergi li?
[20:37] Ali. Entah..
[20:37] Ali. Mending gimana?
[20:41] Teh Dica Hmm

Gue bilang semua yang pengin gue utarakan waktu itu. Soal dia yang nonton ke Cirebon sama Ami. Jadi ada cerita lain, mantan Ami yang masih belum bisa moveOn ngajak Ami ke Cirebon sambil ajak teman-temannya, tapi Ami menolak. Lalu karena sudah mengajak teman-temannya, berangkatlah mereka ke Cirebon tanpa Ami. Tapi, mantannya Ami menemukan kenyataan pahit, bahwa Ami ada di salah satu tempat makan berdua dengan adiknya.

‘Berdua aja?’

‘Iya, berdua aja..’ Lalu, kemudian, Teh Dica datang dan duduk di tempat makan,

Gue tahu cerita itu dari salah satu teman gue, ketika kerja kelompok menuju Luragung. Gue bilang ke Teh Dica, gue itu kalah dalam segala hal. Hanya pemeran pengganti dalam hidupnya. Bukan orang yang punya tempat khusus baginya.

[20:59] Teh Dica Apasih li? Aku gasuka saat kamu merendahkan diri sendiri kaya gitu .. Setiap orang punya peran masing-masing di hidup aku ..
[20:59] Teh Dica Kenapa sih selalu ngebandingin sama Diki/Ami?
[21:00] Ali. Emang rendah ih
[21:01] Ali. Aku gak berperan banyak
[21:01] Ali. Figuran kan?
[21:01] Teh Dica Ih ali mah gaasik, stop ngeliat orang lain .. Bangga dong sama yang kamu milikin ..
[21:01] Ali. Apa yg aku punya?
[21:02] Ali. Perasaan ke teteh, tapi gak terbalas. Udah ini gak bakal ada lagi malam seperti malam-malam selanjutnya ya..
[21:04] Ali. Aku cuma pengin ungkapkan apa yang aku rasakan, seenggaknya... sebelum semuanya benar-benar berakhir. Supaya aku bisa tenang, untuk lanjutkan hidup..
[21:08] Ali. Selamat malam..

Tangan gue gemetar saat menulis itu. Gue kira dia akan menahan gue pergi, tapi tidak. Besoknya, tidak ada pesan apa-apa darinya. Karena saat itu gue sudah bilang dan memutuskan untuk pergi, maka gue pergi. Dan enggak lama kemudian, mereka berdua jadian. Dia lebih memilih Ami yang berbeda  jauh dengan gue.

Gue pernah menulis, puisi:

Kamu Hanya
Biar aku dan orang-orang yang gagal meraihmu saja,
Yang merasakan patah hati olehmu seperti ini.
Untuk kedepannya,
Jangan lagi singgah dari satu hati ke hati yang lain.
Kamu hanya akan mematahkan hati banyak orang.
(Ali, 22 Juli 2016)

***

Gue ingat lagi satu kejadian yang belum gue lupa, percakapan pertama kami.

Waktu itu gue masih kelas sepuluh, dan baru menjadi pengurus OSIS. Waktu itu Hari Minggu, acara turnamen bola basket antar SMP-sederajat di GOR Ewangga. Gue datang paling pagi, masuk ke Gor dan belum ada siapa-siapa. Tapi beberapa puluh menit kemudian, satu-dua panitia datang.

Gue sedikit kaget ketika dia datang. Sejak kelas sepuluh, dia terkenal di angkatan gue, apalagi di kalangan anak laki-laki. Gue yang waktu itu belum ada perasaan apa-apa hanya senyum biasa ke arahnya yang sedang berdiri di dekat pintu, sambil bilang permisi ketika gue lewat.

‘Teh, ke dalem aja dulu,’ Dia hanya mengangguk, dan bilang iya dengan sangat pelan, ‘Nunggunya sambil duduk, daripada pegel berdiri di luar.’

‘Agung udah datang?’

‘Kang Agung?’ tanya gue, ‘Belum, teh.’

‘Yaudah, deh..’ dia masih berdiri di situ, sambil memegang handphone-nya,

Gue tidak ingat pasti seperti apa percakapan kami, tapi kurang lebih seperti itu percakapan pertama kami.

***

Kalau gue ingat-ingat lagi sejak awal, kami berdua pernah sepakat bahwa, kami sama-sama tidak suka dengan hubungan yang terlalu mengekang. Tapi, gue sendiri yang terlalu mengekang. Entah apa yang terjadi waktu itu. Gue memikirkannya lagi sekarang, bahwa, perasaan gue waktu itu terlalu dalam, mulai ingin memiliki dan terlalu sayang. Dan orang yang terlalu sayang, mulai takut kehilangan.

Gue ini seperti Milea, yang sama-sama takut kehilangan orang yang membuatnya nyaman. Takut kehilangan orang yang dicintainya. Kadang gue berandai, kalau saja waktu itu gue menolak kata menyerah, dan berusaha untuk tetap di sampingnya, apa kami akan bisa bersama?

Di sampingnya, gue merasa menjadi bagian paling menyenangkan dari diri sendiri. Bisa berani bicara apa saja untuk terus membangun percakapan dengan orang yang disukainya. Kadang, ketika sepi datang beserta kenangan tentang dia, gue rindu hari-hari itu, saat menjadi diri gue yang waktu itu.

Dan gue sadar, kalau gue masih melibatkan perasaan ketika mengingat itu, itu artinya gue belum bisa tenang untuk melanjutkan hidup, dan gue belum bisa untuk berdamai dengan keadaan dan kenyataan bahwa, kamu tidak lagi ada.

Dan gue juga harus sadar. Sekarang semunya sudah berlalu, dan gue tidak bisa berbuat apa-apa. Meraih semua mimpi yang pernah kami bicarakan di antara percakapan malam kami sendirian. Dan gue sadar, semua mimpi itu tidak akan terwujud hanya karena satu hal, yaitu: melibatkan dia pada setiap mimpi dan keinginan yang gue punya.

Kalau gue ingat lagi, dulu gue pernah ajak dia untuk membangun candi, tapi dia bilang mau menggagalkan katanya supaya jadi sejarah. Dia juga pernah menulis tentang Manusia Salju yang pernah membuat dia menjadi seperti sekarang, katanya tidak ingin lupa. Dan mungkin, gue adalah bagian dari cerita hidupnya yang hendak ia lupakan. Entah, hanya prasangka saja. Semoga saja enggak..

Dan gue hanya ingin menulis ini, agar menjadi sejarah kita berdua tanpa harus membuat buku sejarah semakin tebal. Hanya ini yang bisa gue tulis, sebagai salah satu cara gue untuk menghargai apa yang pernah terjadi di antara kita berdua. Sekarang, adalah sekarang. Dan itu yang bisa gue lakukan sekarang. Yang hanya bisa menulis ini, dan mulai mengenang. Gue baca lagi tulisan-tulisan lama tentang dia. Sama seperti dia, menulis untuk membuat ingat.

Ini beberapa tulisan lama yang pernah gue tulis:

#1

Aku kebingungan tentang mimpi, apa yang aku harus raih ketika kamu pergi?

#2

Setiap malam, aku selalu kembali menggunakan cara yang sama saat menyapamu, sama seperti saat pertama kali kita memulai percakapan tanpa suara. Kita bicara lewat kata yang kita ketik masing-masing, bertanya atau menjawab, aku seolah mendengar suaramu pada setiap kalimat yang aku baca.

#3

Tidak ada yang seperti dia.
Aku suka cara dia, mau bekerja sama denganku sangat baik. Waktu itu kami adalah dua orang yang sama-sama membangun percakapan, supaya tidak berakhir dengan singkat. Dia seolah mengerti, aku bukan pembangun percakapan yang baik kalau sendirian. Mungkin rasaku seperti Dilan, yang suka cara Lia meladeni Dilan bicara. Ya, seperti itulah. Sekali lagi, aku tegaskan, tidak ada yang seperti dia.
Bahkan dia yang sekarang, tidak seperti dia yang dulu.

Gue hanya ingin menulis tentang dia, tentang apa yang pergi, dan berakhir membuatku merindu lagi. Jika kamu membaca ini, berbahagialah, aku juga sedang berusaha meraih apa yang dulu pernah kita beri tahu satu sama lain. Raih semua yang ingin kamu raih. Semoga kamu bahagia selalu. Bersama siapa pun kamu kelak, semoga bisa mewujudkan cita-citaku untuk membuatmu bahagia.

Dan terimakasih, sudah mau berteman.

Untuk mengakhiri tulisan ini, aku hanya ingin memberi tahu, dan bertanya bahwa: Hatiku masih punya sebuah tanya, apa kamu pernah mempunyai perasaan yang sama?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar