Secangkir kopi baru gue seduh.
Pagi ini gue menatap lagi layar laptop,
melihat lagi tulisan lama, mengingat lagi semua yang enggak ingin gue lupa. Gue
ingin istirahat sejenak dari belajar, ya meski pas belajar banyak istirahatnya.
Sekarang, gue hanya ingin menulis, apapun tentang kami, dari sisa kenangan yang
masih gue ingat, dan melibatkan sedikit perasaan.
Ada satu kalimat yang menganggu gue
akhir-akhir ini, yaitu: ‘Semua orang punya kisah cinta SMA-nya masing-masing.’
Dan satu kalimat lagi dari keterangan foto instagram adik kelas gue sewaktu
SMA, ‘Setiap orang pasti punya perjalanan menyembuhkan luka.’
Dan dari tulisan berikut yang gue temukan
dari linimasa LINE, dari akun yang bernama Aldiii, judulnya:
Halo kalian para Wanita cantik diluar sana.
Terlalu luas.
Halo kalian para wanita cantik yang sudah
membaca buku “Dia Adalah Dilanku 1 dan 2, dan Suara Dilan”
Halo Kalian para Pria yang membaca juga dan
berusaha menjadi Dilan, supaya dapet cewek.
Pakabs? (asik banget pembukaannya ya) :(
Well, ada hal sedikit aneh pada setiap orang yang sudah membaca Dilan, Pertama dulu, saya sudah menggemari Pidi baiq jauh sebelum dia menulis Dilan, lewat The Panas Dalam di youtube dan twitter (bagi yang gatau itu bandnya yang lagunya nyeleneh tapi asik), surayah atau pidi baiq juga nulis buku selain itu, serial drunken dan al-asbun, walaupun di smt 2 kemaren saya baru baca sisanya karena nemu di perpus, dan jujur buku pertama yang saya baca adalah Dilan, karena itu booming banget, dan saya bisa minjem ke temen yang udah beli.
Well, ada hal sedikit aneh pada setiap orang yang sudah membaca Dilan, Pertama dulu, saya sudah menggemari Pidi baiq jauh sebelum dia menulis Dilan, lewat The Panas Dalam di youtube dan twitter (bagi yang gatau itu bandnya yang lagunya nyeleneh tapi asik), surayah atau pidi baiq juga nulis buku selain itu, serial drunken dan al-asbun, walaupun di smt 2 kemaren saya baru baca sisanya karena nemu di perpus, dan jujur buku pertama yang saya baca adalah Dilan, karena itu booming banget, dan saya bisa minjem ke temen yang udah beli.
Saya langsung menebak bahwa Dilan adalah
Pidi baiq itu sendiri, karena kalo kalian baca blognya, gayanya maupun latar
belakangnya surayah memang persis Dilan, Walaupun di Twitter Pidi Baiq bilang,
bahwa dia bukan Dilan dan nge tweet “Dilan adalah dirimu yang kau biarkan
tertidur”.
Saya langsung dapat mengambil kesimpulan
lain, bahwa Dilan tergantung masing-masing, dilan kaya Puisi, gimana intrepeter
nya, mau itu Ayahmu, kakakmu, bahkan kamu, kang Pidi memberikan kebebasan untuk
menebak.
Walaupun saya masih yakin bahwa Dilan itu
adalah Surayah sendiri.
Lalu sekarang, Dilan sudah mau dibuat movie
nya. dan Iqbal CJR menjadi Dilannya. dan sekali lagi memang netizen senang
sekali komentar, banyak yang gasetuju rata-rata.
Oh, ayolah teman teman, iya saya tau Iqbal
memang lebih mirip santri soleh daripada anak geng motor yang mau bakar
sekolah, tapi kalian tidak dapat memaksakan Dilan di kepala kalian dengan
kepala orang lain, Dilan kalian ya punya kalian, punya saya ya punya saya. jadi
mau itu Kakekmu yang menjadi Dilan, yaudah, itu interpretasi dari satu
individu, dan mungkin intrerpretasi dari yang mau buat film nya ya dia.
Tapi, yaudahlah ya..
Bukan, bukan itu yang mau saya bahas.
ini...
Setiap respon bagi yang pernah baca Dilan,
saya simpulkan.
Jika itu cewek.
“Ahh romantis banget, sisain yang kaya
Dilan, satu aja”.
Jika itu cowok.
“Ahh, T*i, bisaan euy si Dilan” seolah
dilan dan dia sudah akrab banget.
Sampe ada temen saya yang ayahnya adalah
anggota geng motor dulunya, bertanya pada sang ayah “kenal gak sama yang
namanya Dilan?” saking penasarannya atau, “Gak kepikiran ya sama urang cara
Dilan deketin cewek” atau bahkan “padahal urang juga kaya gitu” (mencoba menyamakan diri)
Bahkan beberapa komentar di bukunya menyebut “Buku ini adalah kitab bagaimana cara mendapatkan Wanita, berbahaya”
Bahkan beberapa komentar di bukunya menyebut “Buku ini adalah kitab bagaimana cara mendapatkan Wanita, berbahaya”
Saking mempesonanya Dilan merebut hati
Milea, dengan cara yang sederhana.
Di buku suara dilan, dilan menyebutkan “Saya
tidak seperti itu, ini diri saya, jika Milea menyebut saya seolah saya itu
adalah orang paling romantis di dunia, ya itu pendapat Milea, tapi saya tidak
Sebegitunya” (ini bahasa saya, tepatnya saya lupa).
Dan di buku tersebut Dilan melengkapi cerita Milea.
Dan di buku tersebut Dilan melengkapi cerita Milea.
Oke, selesai sebetulnya, menikmati karya
surayah, udah beres. beres. titik.
Tapi setiap respon para wanita itu saya
dengar, kesannya jadi annoying dan mengusik saya untuk menulis ini.
“ahh, Romantis banget”.
“ahh, sisain satu”.
dan ahh ahh yang lain.
Lalu timbul semacam kesan, yang cewek
mencari Dilan, yang cowok meniru Dilan.
Dilan.. Dilan.. Dilan..
Dan, Hai ayah Pidi, Hai Dilan, bukumu
menyihir sejuta umat, di sosial media, maupun dunia nyata, untuk berlomba-lomba
menjadi dirimu (Untuk Cowok)
Dan mendambakan kamu (Untuk cewek)
Dan berarti buku itu bagus, karena
pikiranmu tersalurkan dengan baik.
Oke, saya mau bahas untuk siapapun tanpa
bermaksud menyepet siapapun para wanita yang bilang “Semoga aku mendapat yang
kaya Dilan yang dapat mencintai mileanya dengan caranya sendiri tapi romantis”
Atau tidak Dilan saja.. misal “Semoga aku
mendapat yang kaya si “anu” yang begini yang begitu”
Baiklah, jika kalian menuntut para
laki-laki untuk menjadi Dilan.
Maka, kami juga menuntut kalian untuk
menjadi Milea.
Gimana?
Sekarang mari kita bahas.
Apakah kalian dapat mengistimewakan seorang
laki-laki seperti layaknya Milea mengistimewakan Dilan?.
Apakah kalian dapat menerima hal sederhana
dari laki-laki seperti Milea yang menganggap mewah semua pemberian dilan?.
Milea bilang, selalu bilang “Dilan itu baik”
“Kang Adi itu menyebalkan” dengan menyertakan “Itu pendapatku”. itu pendapat
Milea. so, bisakah kalian mengikuti pendapat Milea?.
Misal, jika seorang pria memberi kalian TTS
bekas, cuma dengan tulisan “aku gak ingin kamu cape ngisi” sebagai bentuk pdkt,
kalian mau terima TTS itu?. gak bilang “Apaansih ******** (semacam kata kasar)”
dengan tanda seru?.
Misal, jika kalian cuma diajak jalan-jalan
malem-malem keliling buah batu, palasari dan daerah sekitarnya lalu pulang
lagi, kalian gak akan ngerajuk untuk dibawa ke tempat yang mewah?.
Atau, nge date kalian cuma di warung kopi
sekitaran Gatsu, sama bala-bala dan gehu, dan kopi hitam, kalian gak minta
restoran?.
Karena jika kalian para wanita cantik
pujaan hati, menerima kesederhanaan juga, kami akan dengan senang hati menjadi “Dilanmu”
itu.
Karena saya rasa, di pikiran saya, di otak
saya, Dilan cuma cowok biasa, anak geng motor yang nakal, yang kelakuannya
nyeleneh, dan udah.
Saya dulu kebanyakan berteman dengan sifat
yang sama, latar belakang yang sama di daerah saya dulu, sifat yang sama kalo
ceweknya diganggu, ya mending berantem aja, sifat yang sama kaya misalnya cuma
ngasih aqua gelas pas ulang tahun ceweknya, ya, saya pernah ketemu dengan orang
seperti itu, dan biasa aja.
Milea lah yang membuat Dilan begitu
istimewa, Milea tau cara memperlakukan Dilan, cara memancing “Dilan” itu
keluar, Milea kan yang berargumentasi bahwa TTS itu romantis, bahwa jalan-jalan
konvoi geng motor itu seru, yang perhatian dan jatuh cinta dengan dilan, ya
Milea.
Ya, walaupun awalnya Dilan yang eksentrik
itu yang memulai “Meramal”. tapi Milea membuat Dilan nyaman dengan bagaimana
cara dia memperlakukan peramal gaje yang mau pdkt, memancing percakapan,
membuat Dilan menjadi dirinya sendiri, ya, Menjadi Dilan.
Sok bayangin kalo Dilan datang meramal,
terus Milea bilang “Apaansih gaje”.
Atau Dilan datang ke rumahnya Milea mengaku
sebagai utusan kantin, terus Milea bilang ke papahnya “Pah, surat itu dari
orang gajelas yang nguntit Milea, Milea takut dia dateng lagi”.
Mungkin sekarang Dilan sudah ditembak
papahnya Milea yang tentara itu.
Atau saat Milea tau Dilan anak geng motor
dia langsung menjustifikasi “Ih Dilan pasti nakal, amit-amit, akumah gamau sama
anak geng, paling kerjaannya tawuran, dan biasanya bodoh”.
Mungkin cerita romantis Dilan Milea cuma
sampai situ, Milea pun tidak akan tahu fakta “Walaupun Dilan cuma bawa satu
buku, dia itu pintar”.
Atau saat Dilan masuk ke kelas Milea dan
jadi pura-pura jadi Murid, Milea udah enek duluan dan lapor ke guru.
Tamat lah cerita romantis itu.
Karena Dilan pun, kalo gak di respon sama
Milea-nya, tidak di istimewakan sama Milea-nya, dia akan biasa biasa saja.
Karena jika Milea tidak mengistimewakan
Dilan, maka Dilan akan sama menyedihkannya dengan Kang Adi.
See the point?
Yap, jika kalian berpikiran terbuka seperti
Milea, mampu menerima candaan seperti Milea, mampu menerima yang sederhana seperti
Milea, kami para cowok juga, bahkan semua cowok saya rasa, dapat menjadi Dilan.
walaupun tidak bersifat Dilan, tapi, kami diistimewakan, seperti Milea mampu
mengistimewakan Dilan, ya tentu saja akan membawa feedback Wanita merasa
diistimewakan juga.
Kesimpulannya.
Kalian cuma harus menjadi Milea juga.
Tapi jika kalian ingin dicintai sebagaimana
diri kalian, maka berhenti berharap dicintai oleh orang seperti Dilan, karena,
kami sebagai kami, punya cara masing-masing mengistimewakan Wanita, punya cara
tersendiri mencintai seorang wanita.
Dan kami mencintai wanita pun karena apa
yang ada di diri wanita tersebut.
Maka kami dengan diri kami sendiri punya
cara masing-masing mencintai wanita yang punya cara sendiri juga
mengistimewakan laki-lakinya.
Jadi sederhana bukan.
Jadi diri sendiri, dicintai pula dengan
orang yang menjadi dirinya sendiri, mencintai pula orang yang menjadi dirinya
sendiri.
Biarkan Dilan dan Milea punya cerita
tersendiri, mengenai cara mereka mengistimewakan hubungan, dan kalian pun dapat
punya cerita sendiri, cerita Dilan dan Milea versi masing-masing.
Hanya harus belajar cara mengistimewakan
yang sederhana, atau merubah hal yang sederhana menjadi begitu istimewa.
Atau bagaimana?
Ya itu terserah kalian
Karena bentuk istimewa sendiri itu abstrak,
jadi kalian punya pikiran tersendiri mengenai apa itu istimewa, apa itu
mengistimewakan hubungan.
Sama seperti tulisan ini juga terserah
saya. kalian setuju atau tidak, terserah kalian, jadi silahkan kembali, dan
perihal kalian menyesal atau tidak membaca sampai sini, itu urusan kalian.
NB ; Tulisan ini pun terinspirasi dari
kedua teman saya yang udah saling nyaman tapi gajadian jadian.
Mereka orang terupdate yang saya temui,
yang dapat mengubah hal sederhana menjadi asik.
He He.
-Dari yang Lagi dengerin lagu Float.
A.E.
Ciwaruga - 2017.
***
Gue hanya mau cerita tentang kisah cinta
sewaktu masih SMA.
#2
Cerita ini belum lama terjadi, kedekatan
kami berawal sekitar pertengahan Bulan Desember tahun 2015 sewaktu gue kelas
dua SMA. Waktu itu, sekolah sedang mengadakan pameran sekolah yang dibuka untuk
umum. Acara setiap dua tahun sekali, selesai ujian akhir semester, seminggu
sebelum pembagian rapor.
Gue adalah pengurus OSIS sewaktu SMA, tapi
waktu itu tidak masuk kepanitiaan acara pameran sekolah, karena panitianya dari
kelas dua belas. Acara pameran ini termasuk program kerja OSIS juga. Kalau
acara ini tidak memenuhi tujuan program kerja, tetap kami yang harus
bertanggungjawab.
Di tengah lapangan berdiri sebuah panggung
untuk acara hiburan, promosi sponsor, dan lain-lain. Setiap ekstrakulikuler
membuat stan masing-masing di setiap kelas yang mengelilingi lapangan untuk
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.
Sejak dulu, ekstrakulikuler sastra selalu
jadi pusat perhatian dari acara ini. Biasanya membuat stan semacam rumah hantu.
Pengunjungnya selalu ramai.
Suatu sore kalau tidak salah Hari Jumat, Si
Lina sekertaris OSIS sedang ngobrol sama seorang kakak kelas yang juga
seniornya di Bantara. Sore itu, dia juga sedang menjaga stan sastra. Dan sore
itu juga, mungkin dia baru tahu, kalau gue juga ada di sekolah ini. Gue merasa
enggak terlalu terkenal di sekolah, dan kakak kelas yang mengenal gue hanya
beberapa.
Sore itu gue tidak banyak bicara hanya
banyak senyum, mendengarkan Lina dan seniornya bercandan. Sampai dia bilang,
‘Haus ih. Minta minum.’
‘Enggak ada lagi aku juga.’
Sore itu, dengan keinginan sendiri, gue
beli air mineral prim-a 600ml di kopsis, lalu memberikannya. Dia sedikit
terkejut, sambil bilang, ‘Ini beneran?’
‘Iya, buat teteh.’
’Makasih..’ kata dia sambil senyum, ‘nanti
diganti ya?’
‘Gak usah..’ kata gue sambil menggeleng
kepala, lalu pergi ke lantai dua karena enggak mampu berdiri lama dekat dia,
‘Ih, beneran?’ tanya dia,
Gue menoleh, ‘Iya..’
‘Makasih, Ali..’ kata dia,
‘Iya..’ kata gue ketika sampai di lantai
dua, dan sore itu berakhir dengan perasaan yang tumbuh dan sulit untuk bisa
dijelaskan.
***
#1
Awal gue tahu dia itu sudah lama. Dia
adalah anggota bantara di sekolah gue. Setiap Hari Jumat, sekitar jam satu
siang setelah solat jumat, biasanya anak kelas sepuluh latihan pramuka untuk
persiapan Perkemahan Pelantikan Tamu Penegak, biasa disingkat PPTT. Gak tahu
siapa yang menyingkatnya, harusnya sih, PPTP.
Mau bilang bego tapi gak berani, ya, pasti
yang menyingkat adalah senior kami terdahulu. Gue takut dihukum push-up sambil
ngupil.
Anehnya, setiap Hari Jumat, matahari selalu
terik. Jarang terjadi mendung atau bahkan hujan yang deras. Yang terjadi
keringat dari ketek gue selalu deras, membuat bekas di baju pramuka gue. Kayak
iler baru bangun tidur yang membanjiri bantal.
Meski panas matahari sangat menyengat
kulit, gue tidak pernah absen, gue selalu hadir untuk latihan pramuka. Tidak
seperti teman sekelas gue sewaktu kelas sepuluh, Si Ami.
Gue rajin latihan alasannya sederhana. Mau
pura-pura izin, orang tua gue gak bisa nulis surat izin. Bukan karena buta
huruf, gue terbilang anak yang rajin ke sekolah, coba lihat rapor gue, pasti
enggak ada alfa, izin, dan sakit pun jarang. Kalau gue masih bisa berdiri, gue
tetap sekolah. Karena di luar sana masih banyak anak kurang beruntung yang
tidak sekolah, gengs!
Gak deng, kalau gak sekolah, gue gak dapet
uang jajanL
Diantara terik yang menyengat, ada penyejuk
ruangan yang terkadang lewat di depan barisan satu angkatan. Membuat gue kagum,
bergeming, dan hanya curi-curi pandang. Mau ajak kenalan pun, gak berani. Gue
bisa tahu namanya bukan karena ngajak dia kenalan, anak laki-laki satu angkatan
gue tahu, gue juga jadi tahu.
Saat itu, gue hanya mengaguminya. Tidak
pernah terpikir, gue bisa ngobrol atau bahkan berbagi cerita sampai larut
malam. Saat itu, gue hanya penegak biasa, yang enggak ganteng-ganteng amat.
Beberapa minggu setelah perkemahan selesai.
Gue dengar, dia dekat sama salah satu teman dari angkatan gue, rekan kerja gue
di OSIS juga, namanya umm, siapa ya? Oke, kita samarkan, namanya Diki.
Gue tidak patah hati saat itu, karena gue
hanya sebatas ‘kagum’, enggak lebih. Saat itu juga, gue sedang mengejar cinta
yang lain. Dan, semuanya berubah, ketika acara pameran sekolah pertengahan
bulan December 2015.
Di acara SSF itu, hubungan Diki dan dia
mulai entah bagaimana bentuknya. Gue meihatnya seperti dua orang yang sedang
marahan, tapi masih saling peduli. Dengan rasa penasaran, gue langsung tanya
kepada Diki. Sebagai pembelajaran, kalau-kalau hubungan mereka renggang, dan
gue bisa menggantikan peran, gue tidak
mengulangi kesalahan yang sama seperti Diki. Licik emang.
Gue emang teman yang microchiroptera
banget.
‘Dik, kenapa kok, hubungan kalian jadi
renggang?’
‘Gak tau, dia sebenernya deket sama Si Ami.
Kamu tau kan, gimana? Penakluk perempuan gitu, lah. Atuh, aku teh khawatir dia
baper atau kenapa-kenapa. Aku juga udah bilang ke dia, kalau Si Ami tuh gini,
gitu.. tapi keukeuh tetep deket.’
Ami teman sekelas gue, teman satu geng-nya
Diki, dan anak yang jarang pramuka dan mentaati adat ambalan. Diki khawatir
saingan sama dia, gue pernah punya pertanyaan kalau dia tahu bakal saingan sama
gue khawatir gak, ya? Ah, palingan enggak, gue kan gak ganteng-ganteng amat.
Dan akhirnya, gue mendengar kabar Diki dan dia
benar-benar pisah. Entah, perasan gue saat itu, antara senang atau sedih. Jadi
gak tega juga kalau mau ngejar mantan pacar teman gue sendiri.
Dengan maksud supaya Diki enggak mikir yang
aneh-aneh, gue dengan berani meminta izin ke Diki. Eh, masih cemen deng, kalau
berani ke papah-nya. Oke, gue ganti kalimatnya: gue dengan cemen meminta izin
ke Diki.
‘Dik, aku mau deketin dia, boleh?’
‘Ya, mau aku ngizinin atau enggak, hasilnya
bakal sama.’
‘Maksudnya?’
‘Dia pernah cerita,–‘ kalimatnya terhenti,
‘Eh, enggak deh.’ Lalu pergi.
Salahnya gue saat itu, gue minta izini pada
minggu-minggu pertama saat mereka baru pisah. Iya, gue emang sedikit bego soal
ginian.
***
#3
Setelah kejadian pertengahan Bulan Desember
sore itu, gue mulai menikuti akun ask.fm dia sambil minta ikuti balik.
Gue iseng cari akun Line-nya dengan cara
menulis ID ask.fm-nya. Eh, ternyata sama. Dari situ, gue mengumpulkan
keberanian buat menghubungi dia duluan. Di depan layar laptop, dengan kursor
yang terus berkedip, gue bingung. Entah mau menulis apa, akhirnya, gue tulis
lalu mengirimnya.
Ali : Umm, hai..
Dia : Siapa nih? haha
Ali : Power Rangers.
Dia : Waaaa
Dia : Ali fotonya keren iih
Ali : Foto apa? ‘-‘)
Dia : Foto line
Ali : Iya, nyari yang paling ganteng..
Ali : biar enak kalau ngobrol
Dia : Idiih gajadi ah sereem sukanya sama
yang ganteng’
Ali : ya ampun-__-
Ali : Eh, teteh follow instagram aku ya?’
Waktu itu, gue sudah enggak lagi buka
instagram. Tapi saat itu gue niat banget, buka lagi instagram buat mencari akun
dia dan foto-fotonya. Dan saat gue buka pemberitahuan, ternyata dia mengikuti
akun instagram gue. Gue terkejut dia sudah follow instagram gue.
Malam itu, percakapan kami mengalir begitu
saja. Rasanya nyaman ketika ngobrol sama dia meski tanpa suara. Dia itu
perempuan yang beda. Gue tidak merasa seperti sedang wawancara. Kami saling
bertanya, saling menjawab, dan selalu berakhir dengan senyum mesem-mesem di
wajah gue ketika dapat balasan pesan dari dia. Sejak percakapan malam itu, gue
bisa merasakan, perasaan ini tumbuh semakin besar.
***
#4
Banyak yang kami bicarakan. Dari ngobrol
masa lalu masing-masing, guru yang disuka dan gak disuka, main gombal-gombalan,
sampai mimpi-mimpi kecil yang kami miliki masing-masing. Banyak gombalan yang
bikin gue baper banget, terutama soal ngajak nikah.
Ali : Teh, sebelum matahari terbit, bangun
candi yuu?
Dia : Hah? Ali aja yang bangun, aku yang
gagalin.
Ali : yaaaah digagalin
Ali : yaudah deh, gimana kalau bangun rumah
tangga? #Renyah
Dia : Hahaha biar bisa dikenang orang lain
iih
Dia : Aduuh jadi pingin nikahL
Ali : yuuu lah, der..
Ali : Kalau dikenangnya gitu, gak keren-_-
Emang sedikit geli. Tapi, gue malah kangen
hari-hari terbaik itu.
Dari percakapan kami yang menurut gue
berharga. Kami berdua sama-sama setuju, sama-sama sepakat, bahwa cinta itu tidak
untuk mengekang. Kami sama-sama tidak suka hubungan yang terlalu mengekang,
bahwa kehidupan itu bukan hanya tentang pacaran saja, tapi waktu untuk
keluarga, sahabat, dan mimpi yang kita punya masing-masing. Kami sama-sama
setuju.
Ali : Teh, foto bareng yuk?
Dia : Yuk foto bareng.
Ali : Biar ada gosip di antara kita.
Dia : Hahaha, ngincer gosip kamu mah..
Mimpi kecil.
Dulu, dia juga sering cerita ke gue,
tentang mimpi kecil yang dia punya: pengin banget masuk jurusan teknik
kimia. Meski sampai sekarang gue belum
tahu pasti kenapa dia pengin masuk jurusan itu, waktu dulu, gue sering
mendukungnya ketika dia ragu sama pilihannya. Gue selalu bilang dengan kutipan
kesukaan dia dari Walt Disney. ‘If you can dream it, you can do it.’
Gue : Teteh pasti bisa. Teteh inget kan,
kata-kata Walt Disney, kalau kamu bisa bermimpi, kamu bisa mewujudkannya.
Dia : Oh iya, ya. Makasih ya, AliiiJ
Dari keinginannya, gue jadi punya panggilan
tersendiri untuk dia, setelah malam-malam yang kami lewati sama-sama, gue
memanggilnya Teh Dica.
Karena jurusan Teknik Kimia, salah satu sifat larutan adalah asam. Asam dalam Bahasa Inggris yaitu, acid. Gue balik deh, susunan hurufnya jadi Dica. Terus asam juga punya derajat keasaman kurang dari tujuh. Nah, teh Dica ini punya derajat keasaman kurang dari tiga (pH "<" 3). Arti pH di sini bukan derajat keasaman. pH di sini adalah singkatan dari:
[p]endamping [H]idup"<"3. (emote lope-lope = yang dicintai)
Karena jurusan Teknik Kimia, salah satu sifat larutan adalah asam. Asam dalam Bahasa Inggris yaitu, acid. Gue balik deh, susunan hurufnya jadi Dica. Terus asam juga punya derajat keasaman kurang dari tujuh. Nah, teh Dica ini punya derajat keasaman kurang dari tiga (pH "<" 3). Arti pH di sini bukan derajat keasaman. pH di sini adalah singkatan dari:
[p]endamping [H]idup"<"3. (emote lope-lope = yang dicintai)
Iya, mungkin berlebihan. Tapi gue juga
punya pendapat dan perasaan istimewa yang lebih untuk Teh Dica. Harap maklum,
dan jangan protes kepada gue yang dulu, karena masa lalu enggak bisa
mendengarnya. Dan bagi gue, hal itu enggak berlebihan untuk orang yang lagi
jatuh cinta. Hehe.
Dulu, dia juga pernah cerita kalau dulu penampilan dia tidak seperti sekarang. Enggak pakai kerudung, kurus, dekil, dan sebagainya. Tapi, semenjak suka sama seseorang yang dia sebut Manusia Salju, dia berubah. Pakai kerudung, dan mulai memagari giginya supaya rapi.
'Aku tebak, satu organisasi ya?'
'Kok tahu?'
'Perempuan biasanya gitu, masuk organisasi supaya dekat sama orang yang dia suka.' Itu masa lalunya, dan terserah, malam itu gue hanya ingin bicara dengan dia lebih lama.
Kalau gue hitung-hitung, gue lahir beda dua
bulan dua minggu dari hari kelahirannya. Salah satu bagian konyol yang gue
ingat tentang hitungan hari, gue sampai ingat jadwal datang bulannya. Pikiran
gue sederhana waktu itu, supaya ketika lagi chatting pas Teh Dica datang bulan,
gue enggak mengingatkan solat. Pernah gue tanya langsung di depan masjid, ‘Eh,
udah solat lagi?’
‘Iya. Kenapa emang?’
‘Kemarin lagi datang tamu, kan?’
‘Eh, kok tahu?’ Iya, gue dongo banget waktu
itu.
Di sekolah, daerah senior dan junior
terbagi menjadi dua tempat. Kampung dan Kota. Di daerah Kampung biasanya di isi
oleh kelas sebelas dan dua belas. Di daerah kota biasanya di isi oleh kelas
sepuluh.
Kampung adalah tempat yang sepi, dan jarang
orang yang lewat. Ditambah lagi banyak tumbuhan hijau yang tumbuh di daerah
kampung. Suasana yang lumayan nyaman buat belajar. Kalau Kota adalah tempat
yang sangat ramai, sering banget dilalui orang-orang. Di kota terdapat lapang
olahraga yang selalu ramai ketika pelajaran olahraga. Itulah kenapa, disebut
kota.
Letak kelas sebelas dan kelas dua belas
berseberangan. Jajaran kelas dua belas berada di sebelah utara, jajaran kelas
sebelas berada di sebelah selatan. Bangunan kelas sederhana yang punya dua
tingkat. Bedanya, kelas dua belas sudah direnovasi, yang tadinya satu tingkat,
jadi dua tingkat. Lebih bagus dari bangunan kelas sebelas. Bisa dibilang,
sekarang kampung udah berubah jadi rumah susun.
Kelas gue dan teh Dica ada di tingkat dua.
Dari dalam kelas di sebelah selatan, gue sering melihat keluar jendela,
berharap dia lewat di lorong kelas utara. Meski terkadang gue hanya melihat
pundaknya berlalu, dengan cara jalan yang sekarang gue rindukan.
Cara jalan Teh Dica lucu, berbeda dengan
cewek kebanyakan. Bisa dibilang, kurang anggun. Pundakanya selalu turun, seolah
malas untuk melangkah. Rasanya, pengin deh, gue bilang, “Sini, genggam tangan
aku. Ayo kita melangkah bareng-bareng.”
Setelah dia genggam tangan gue, mungkin dia
bakal mandi setiap hari.
Pernah, sewaktu gue ulang tahun tanggal 13 Januari 2016. Gue datang lebih pagi ketika dia sedang ada pemantapan untuk UN. Gue bawa satu kantong plastik serabi hangat depan sekolah, karena dia suka lupa sarapan. Tapi hari itu dia menolak, karena katanya bawa bekal. Gue kecewa, takut dia berbohong karena takut merepotkan gue. Sepulang sekolah, gue chat dia dan dia bilang, 'Aku beneran bawa bekel, inget kata-kata kamu.', gue senyum-senyum sendiri membaca itu.
Percakapan kami suatu malam:
[22:28] Teh Dica : Hahahha tadi katanya mau
tidur
[22:28] Ali. : Enggak, aku lagi lihat acara
apaan di Indosiar,
[22:29] Ali. : kayaknya miss world gitu,
cenghar deh, hahaha
[22:29] Teh Dica : Idiih dasar cowo
[22:29] Ali. : gak, boong:3
[22:30] Ali. : lagi liatin foto teteh..
[22:30] Ali. : matanya bagus, ada dua
[22:30] Teh Dica : Foto dimana?
[22:30] Ali. : line
[22:31] Teh Dica : Emang kamu ada berapa
matanya?
[22:31] Ali. : dua juga sih..
[22:32] Teh Dica : Atuh sama ajaa
[22:32] Ali. : Iya ih, jangan-jangan kita
jodooh:3
[22:33] Teh Dica : Hahaha jodohnya banyak dong
[22:34] Ali. : Enggak doong, kan cuma mata
kita yang menatap satu sama lain
Dari beberapa malam yang kita lewati
bareng-bareng, gue juga tahu maksud dari kalimat Diki. Katanya, dia tidak
diizinkan untuk pacaran. Waktu bareng Diki, katanya teh Dica sering disindir
kakaknya, ayah-nya, dan umi-nya. Gue mengerti, dia gak boleh buat pacaran.
Tapi, setelah gue pikir lagi, ternyata
lebih nyaman seperti ini. Gak ada status, tapi gue senyum-senyum sendiri ketika
dapat balasan pesan singkat dari dia, deg-degan menunggu kabar dia, khawatir
saat belum lihat dia di sekolah. Ya, hubungan kami hanya seperti itu, tapi gue
salalu diam-diam berharap bahwa dia akan menganggap gue sebagai seseorang yang
istimewa.
Suatu hari, gue iseng lihat akun instagram
Diki. Dan sedikit ada perasaan sesak di dada, ketika lihat foto dari masa lalu
mereka berdua. Entah apa yang ada di pikiran gue waktu itu, gue bilang ke dia, ‘Enak
ya, jadi Diki. Pernah foto bareng sama teteh.’
‘Iya ih, waktu itu foto bareng gak jadi.’
***
Semua yang indah itu harus berakhir. Dengan
waktu yang menurut gue sangat singkat. Paket modem gue habis, koneksi internet
dari sekolah dekat rumah gue dicopot. Semua menuju ke selatan, ke bagian
terburuk dari cerita gue dan dia.
Ternyata, dia masih sering chat sama Ami,
dan bisa dibilang dekat. Gue jadi sedikit takut kehilangan dia. Gue juga mulai
kehabisan bahan buat ngobrol sama dia karena tidak ada sisa percakapan
kemarin yang bisa gue lanjut untuk gue obrolkan hari ini.
Ketika ada kesempatan chat, untuk memulai
topik baru pun, dia bales agak lama dari biasanya, ya sekitar enam atau tujuh
jam, yang biasanya cuma satu atau dua menit. Dia mulai fokus buat UN.
Gue juga mulai jarang lihat dia di sekolah
atau sekadar papasan kemudia saling sapa sama Teh Dica. Gak jarang gue lihat,
dia deket sama cowok seangkatannya. Gak jarang juga gue mendengar kabar yang
kurang enak di telinga.
‘Dia udah dianter sama Kang itu...’
‘Dia kan lagi deket sama...’
Sementara gue, tidak pernah dikenal atau
digubris keberadaannya. Mungkin, kembali ke awal, gue hanya penegak biasa yang
gak ganteng-ganteng amat. Dari titik ini, gue menyerah.
Sampai di acara perpisahan angkatan dia.
Dia mengabulkan permintaan gue buat foto bareng. Gue masih ingat, dia memakai
gaun merah jambu waktu itu, warna kesukaan dia. Dan gue hanya memakai kaus
pemberian Amanda dan jas panitia OSIS. Terlihat kumal, dan tidak terurus. Mirip
gembel yang pakai jas.
Saat itu hampir di akhir acara, sore hari,
dan hujan turun. Setelah beberapa kali dia foto bareng dengan teman-temannya
akhirnya dia mendekat ke arah gue yang sedang memegang kamera orang. Kami
berfoto dekat ruang OSIS dengan dua kamera berbeda. Kamera yang dia punya dan
kamera yang gue pegang.
Hasilnya bagus. Di kamera yang gue pegang
buram semua. Di kamera yang dia punya ada yang buram dan ada yang jelas. Di
kamera dia terlihat seperti gembel berjas yang berfoto dengan putri dari
kerajaan. Beauty and the gembel berjas.
Gue memberi dia bunga, tapi dia tidak
menerimanya. Iya, bunga itu bunga plastik yang gue temukan di kelas. Lalu, dia
menyeberangi hujan, yang sebelumnya gue tawarkan jas gue untuk melindunginya
dari hujan, tapi dia menolak. Dia pergi, mendekati seseorang. Dan gue tahu, dia
adalah Ami.
***
14 MEI 2016 – Gue memakai foto profil
sambil memegang bunga yang tidak dia terima. Malam itu kami masih saling
bicara, tapi tidak dengan cara yang sama. Dia lebih dingin, lebih singkat
membalas pesan.
[22:08] Gue : Selamat malam..
[23:12] Teh Dica : Eh li itu bunganya masih
ada aja
15 MEI 2016 –
[04:49] Gue : Eh, kok belum tidur jam
segitu?-,-
[04:49] Gue : Iyaa, aku simpan, hahaha
[04:50] Gue : Aku pernah cerita gak? Eh di
blog juga ada kalau gak salah, tentang 'bunga yang mengering dengan sendirinya'
[04:50] Gue : Bunga itu masih ada, dan mati
kering..
[10:29] Teh Dica : Hehehe
[10:29] Teh Dica : namanya juga bunga mati
Ami--”
[10:30] Teh Dica : Eh salah nama ali
maafkan
[10:30] Teh Dica : Tadi di sana yg salah
aih gafokus
[10:30] Teh Dica : Itu postingan kapan?
Baru?
[16:43] Gue : Lama, judulnya perpisahan
sekolah.. yg smp.
[16:43] Gue : Mbb ya, habis bantu p4
[16:44] Teh Dica : Nanti aku baca deh..
[16:45] Teh Dica : Oh pelantikan pmr ya?
[16:45] Teh Dica : Ali gamarah kan li?
Dari titik ini, gue sadar. Ada orang lain
yang lebih banyak terlintas di kepalanya. Gue sampai pernah bilang:
[18:27] Ali. Hmm... Si kampret bisa bikin
senyaman apa ya?
Bisa bikin teteh sampe lupa lagi chat sama
siapa.
Pasti dia selalu ada, waktunya lebih banyak
daripada yg aku punya, pasti bisa bikin teteh nanya juga gak cuma wawancara
(yang satu nanya aja, yang satu cuma jawab), pasti... Apapun itu, yg bisa bikin
teteh sampe lupa lagi chat sama siapa..
[18:35] Ali. Aku selalu nanya, teteh kemana
pas gak lagi chat sama aku..
[18:35] Ali. Nanya ke diri sendiri
[18:36] Ali. Then i know,
Gue singkat-singkat saja percakapannya ya.
[19:01] Teh Dica Ali jangan gini dong li,
akunya takut ..
[19:54] Ali. Aku juga takut
[20:06] Ali. Kalau aku pergi, mungkin teteh
gak bakal takut lagi ya
[20:13] Ali. Ilang nih?
[20:19] Ali. Keluar dooong
[20:19] Ali. Buat yang terakhir kali..
[20:20] Ali. 20:20
[20:35] Teh Dica Jadi mau pergi li?
[20:37] Ali. Entah..
[20:37] Ali. Mending gimana?
[20:41] Teh Dica Hmm
Gue bilang semua yang pengin gue utarakan
waktu itu. Soal dia yang nonton ke Cirebon sama Ami. Jadi ada cerita lain,
mantan Ami yang masih belum bisa moveOn ngajak Ami ke Cirebon sambil ajak
teman-temannya, tapi Ami menolak. Lalu karena sudah mengajak teman-temannya,
berangkatlah mereka ke Cirebon tanpa Ami. Tapi, mantannya Ami menemukan kenyataan
pahit, bahwa Ami ada di salah satu tempat makan berdua dengan adiknya.
‘Berdua aja?’
‘Iya, berdua aja..’ Lalu, kemudian, Teh
Dica datang dan duduk di tempat makan,
Gue tahu cerita itu dari salah satu teman
gue, ketika kerja kelompok menuju Luragung. Gue bilang ke Teh Dica, gue itu
kalah dalam segala hal. Hanya pemeran pengganti dalam hidupnya. Bukan orang
yang punya tempat khusus baginya.
[20:59] Teh Dica Apasih li? Aku gasuka saat
kamu merendahkan diri sendiri kaya gitu .. Setiap orang punya peran
masing-masing di hidup aku ..
[20:59] Teh Dica Kenapa sih selalu
ngebandingin sama Diki/Ami?
[21:00] Ali. Emang rendah ih
[21:01] Ali. Aku gak berperan banyak
[21:01] Ali. Figuran kan?
[21:01] Teh Dica Ih ali mah gaasik, stop
ngeliat orang lain .. Bangga dong sama yang kamu milikin ..
[21:01] Ali. Apa yg aku punya?
[21:02] Ali. Perasaan ke teteh, tapi gak
terbalas. Udah ini gak bakal ada lagi malam seperti malam-malam selanjutnya
ya..
[21:04] Ali. Aku cuma pengin ungkapkan apa
yang aku rasakan, seenggaknya... sebelum semuanya benar-benar berakhir. Supaya
aku bisa tenang, untuk lanjutkan hidup..
[21:08] Ali. Selamat malam..
Tangan gue gemetar saat menulis itu. Gue
kira dia akan menahan gue pergi, tapi tidak. Besoknya, tidak ada pesan apa-apa
darinya. Karena saat itu gue sudah bilang dan memutuskan untuk pergi, maka gue
pergi. Dan enggak lama kemudian, mereka berdua jadian. Dia lebih memilih Ami
yang berbeda jauh dengan gue.
Gue pernah menulis, puisi:
Kamu Hanya
Biar aku dan orang-orang yang gagal
meraihmu saja,
Yang merasakan patah hati olehmu seperti
ini.
Untuk kedepannya,
Jangan lagi singgah dari satu hati ke hati
yang lain.
Kamu hanya akan mematahkan hati banyak
orang.
(Ali, 22 Juli 2016)
***
Gue ingat lagi satu kejadian yang belum gue
lupa, percakapan pertama kami.
Waktu itu gue masih kelas sepuluh, dan baru
menjadi pengurus OSIS. Waktu itu Hari Minggu, acara turnamen bola basket antar
SMP-sederajat di GOR Ewangga. Gue datang paling pagi, masuk ke Gor dan belum
ada siapa-siapa. Tapi beberapa puluh menit kemudian, satu-dua panitia datang.
Gue sedikit kaget ketika dia datang. Sejak
kelas sepuluh, dia terkenal di angkatan gue, apalagi di kalangan anak
laki-laki. Gue yang waktu itu belum ada perasaan apa-apa hanya senyum biasa ke
arahnya yang sedang berdiri di dekat pintu, sambil bilang permisi ketika gue
lewat.
‘Teh, ke dalem aja dulu,’ Dia hanya
mengangguk, dan bilang iya dengan sangat pelan, ‘Nunggunya sambil duduk,
daripada pegel berdiri di luar.’
‘Agung udah datang?’
‘Kang Agung?’ tanya gue, ‘Belum, teh.’
‘Yaudah, deh..’ dia masih berdiri di situ,
sambil memegang handphone-nya,
Gue tidak ingat pasti seperti apa
percakapan kami, tapi kurang lebih seperti itu percakapan pertama kami.
***
Kalau gue ingat-ingat lagi sejak awal, kami
berdua pernah sepakat bahwa, kami sama-sama tidak suka dengan hubungan yang
terlalu mengekang. Tapi, gue sendiri yang terlalu mengekang. Entah apa yang terjadi
waktu itu. Gue memikirkannya lagi sekarang, bahwa, perasaan gue waktu itu
terlalu dalam, mulai ingin memiliki dan terlalu sayang. Dan orang yang terlalu
sayang, mulai takut kehilangan.
Gue ini seperti Milea, yang sama-sama takut
kehilangan orang yang membuatnya nyaman. Takut kehilangan orang yang
dicintainya. Kadang gue berandai, kalau saja waktu itu gue menolak kata
menyerah, dan berusaha untuk tetap di sampingnya, apa kami akan bisa bersama?
Di sampingnya, gue merasa menjadi bagian
paling menyenangkan dari diri sendiri. Bisa berani bicara apa saja untuk terus
membangun percakapan dengan orang yang disukainya. Kadang, ketika sepi datang
beserta kenangan tentang dia, gue rindu hari-hari itu, saat menjadi diri gue
yang waktu itu.
Dan gue sadar, kalau gue masih melibatkan
perasaan ketika mengingat itu, itu artinya gue belum bisa tenang untuk melanjutkan
hidup, dan gue belum bisa untuk berdamai dengan keadaan dan kenyataan bahwa, kamu
tidak lagi ada.
Dan gue juga harus sadar. Sekarang semunya
sudah berlalu, dan gue tidak bisa berbuat apa-apa. Meraih semua mimpi yang
pernah kami bicarakan di antara percakapan malam kami sendirian. Dan gue sadar,
semua mimpi itu tidak akan terwujud hanya karena satu hal, yaitu: melibatkan
dia pada setiap mimpi dan keinginan yang gue punya.
Kalau gue ingat lagi, dulu gue pernah ajak dia untuk membangun candi, tapi dia bilang mau menggagalkan katanya supaya jadi sejarah. Dia juga pernah menulis tentang Manusia Salju yang pernah membuat dia menjadi seperti sekarang, katanya tidak ingin lupa. Dan mungkin, gue adalah bagian dari cerita hidupnya yang hendak ia lupakan. Entah, hanya prasangka saja. Semoga saja enggak..
Kalau gue ingat lagi, dulu gue pernah ajak dia untuk membangun candi, tapi dia bilang mau menggagalkan katanya supaya jadi sejarah. Dia juga pernah menulis tentang Manusia Salju yang pernah membuat dia menjadi seperti sekarang, katanya tidak ingin lupa. Dan mungkin, gue adalah bagian dari cerita hidupnya yang hendak ia lupakan. Entah, hanya prasangka saja. Semoga saja enggak..
Dan gue hanya ingin menulis ini, agar menjadi sejarah kita berdua tanpa harus membuat buku sejarah semakin tebal. Hanya ini yang bisa gue tulis, sebagai salah satu cara gue untuk menghargai apa yang pernah terjadi di antara kita berdua. Sekarang, adalah sekarang. Dan itu yang bisa gue lakukan sekarang. Yang hanya bisa menulis ini, dan mulai mengenang. Gue baca lagi tulisan-tulisan lama tentang dia. Sama seperti dia, menulis untuk membuat ingat.
Ini beberapa tulisan lama yang pernah gue
tulis:
#1
Aku kebingungan tentang mimpi, apa yang aku
harus raih ketika kamu pergi?
#2
Setiap malam, aku selalu kembali
menggunakan cara yang sama saat menyapamu, sama seperti saat pertama kali kita
memulai percakapan tanpa suara. Kita bicara lewat kata yang kita ketik
masing-masing, bertanya atau menjawab, aku seolah mendengar suaramu pada setiap
kalimat yang aku baca.
#3
Tidak ada yang seperti dia.
Aku suka cara dia, mau bekerja sama
denganku sangat baik. Waktu itu kami adalah dua orang yang sama-sama membangun
percakapan, supaya tidak berakhir dengan singkat. Dia seolah mengerti, aku
bukan pembangun percakapan yang baik kalau sendirian. Mungkin rasaku seperti
Dilan, yang suka cara Lia meladeni Dilan bicara. Ya, seperti itulah. Sekali
lagi, aku tegaskan, tidak ada yang seperti dia.
Bahkan dia yang sekarang, tidak seperti dia
yang dulu.
Gue hanya ingin menulis tentang dia,
tentang apa yang pergi, dan berakhir membuatku merindu lagi. Jika kamu membaca
ini, berbahagialah, aku juga sedang berusaha meraih apa yang dulu pernah kita
beri tahu satu sama lain. Raih semua yang ingin kamu raih. Semoga kamu bahagia
selalu. Bersama siapa pun kamu kelak, semoga bisa mewujudkan cita-citaku untuk
membuatmu bahagia.
Dan terimakasih, sudah mau berteman.
Untuk mengakhiri tulisan ini, aku hanya
ingin memberi tahu, dan bertanya bahwa: Hatiku masih punya sebuah tanya, apa kamu
pernah mempunyai perasaan yang sama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar