Jumat, 06 April 2018

#TatangSutarma - (Habis Galau Terbitlah Move On)

Prolog.

Hanya dari foto yang sedang gue pandangi ini, mata kami akan bertemu. Dengan senyum bahagia ke arah kamera, dia memegang satu buket bunga. Dari sekian banyak foto dia yang gue punya, gue paling suka foto ini. Padahal, dalam foto ini, dia merangkul pacarnya.

Entah kenapa gue paling suka foto ini. Mungkin karena senyum dia terlihat lebih tulus. Seperti senyum anak usia tiga tahun yang mendapat tiga buah permen loli milkita yang setara dengan segelas susu. Sebagai pemerhati senyum dia sewaktu SMA, gue tahu mana senyum dia yang tulus dan mana senyum yang terpaksa. Berbeda dari yang biasa gue lihat, senyum ini seolah hadir karena dia merasa sangat bahagia ketika foto ini diambil.

Kalau gue ingat-ingat lagi, dulu gue pernah punya keinginan, untuk membuat selengkung senyum yang sama seperti senyum miliknya pada foto ini. Keinginan itu belum kesampaian, sampai sekarang, kami belum pernah ketemu lagi. Gue kunci layar hape, tampilannya berubah gelap. Dan gue mulai menyapu pandangan.

Sekarang pukul 10:15 pagi, gue duduk di bangku peron stasiun ditemani sepupu cantik gue, Karin. Kami menunggu Boy, teman lama gue yang kembali ke kota. Mungkin sudah empat tahun berlalu kami belum pernah bertemu lagi sejak hari kelulusan.

Sebagai perempuan, Karin lebih terlihat terawat hari ini. Rambutnya dikuncir rapi, dan sedikit wangi. Dia pakai sweater warna merah jambu lembut bertuliskan “Girl” di tengahnya dengan sedikit renda motif bunga. Kacamatanya sedikit kedodoran, seolah malas memanjat hidung mancungnya.

Kami tidak banyak bicara selama menunggu. Karin terus memandangi layar hape-nya, menggeser-geser layar, lihat-lihat barang di instagram. Untuk membuka percakapan, gue bilang, “Tumben, hari ini kok cantik?”

Karin menoleh ke arah gue, “Tatang, tolong jangan gombal. Kita ini sepupuan.”

“Eh, sepupuan boleh nikah, lho..” kata gue merayu.

“Eh, lihat tuh! Kereta api panjang banget!” Karin panik mengalihkan perhatian, kayak cowok pas pacarnya minta kata sandi hape buat lihat riwayat obrolan. Orang-orang keluar dari gerbong kereta. Gue lihat, kereta itu bukan jurusan yang kami tunggu.

Kalau gue mengingat lagi penampilannya dulu, Karin memang sangat berbeda dengan sekarang. Terlihat anggun dan lebih keibuan. Tapi cara bicaranya tetap sama, selalu jutek. Apalagi sama laki-laki yang berusaha  ajak dia kenalan. Butuh kesabaran lebih, hampir berasa kayak ngobrol sama Haji Bolot pakai bendera semapur sambil sikap lilin. Sulit.

“Karena Boy, kan?” kata gue.

Nama aslinya Entis Sutisna, tapi ingin selalu dipanggil Boy. Supaya gaul katanya. Gue tahu, Karin suka sama Boy sejak lama. Tapi, sebagai sepupu yang kampret, gue enggak membantu dia supaya bisa dekat sama Boy. Gue membiarkan Karin berusaha sendiri, supaya dia tahu bagaimana rasanya jadi cowok yang harus memulai duluan.

“Karin dandan hari ini tuh, supaya Tama enggak malu ajak Karin.”

“Tapi kan, Karin sendiri yang mau ikut..”
Karin tidak menjawab, dia kembali memandangi layar hape-nya. Karin selalu seperti itu ketika terdesak, mengabaikan dunia di sekitarnya. Semacam pertahanan diri supaya percakapan tidak berlanjut.

Gue sering mendengar Karin mengigau, memanggil-manggil nama Boy keras-keras tanpa sadar ketika Karin lagi tidur. Gue juga mengerti cara Karin berlama-lama supaya bisa dekat terus sama Boy. Kalau kehabisan bahan obrolan, dulu Karin biasanya bertanya tentang hal yang enggak penting. ‘Kodok itu mamalia, bukan?’

Gue juga sering melihat Karin diam-diam memandangi Boy sewaktu SMA dengan tatapan lembut penuh harap dengan sedikit senyum dari bibirnya. Tapi Boy enggak sadar kalau Karin suka memandanginya. Karena Boy selalu menatap ke arah lain

Gue tahu banget arti dari kebiasaan-kebiasaan yang Karin lakukan. Gue tahu, karena pernah melakukan hal yang sama seperti yang Karin lakukan. Jatuh cinta sendirian. Bukan ke Boy, tapi ke seseorang, yang sampai saat ini gue belum bisa melupakannya.

Kedua mata ini kembali menyapu seluruh penjuru stasiun. Memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Siapa tahu Boy sudah datang, meski kereta belum sampai. Pandangan gue berhenti kepada seorang perempuan yang sedang duduk di salah satu bangku peron stasiun. Gue seperti mengenal dia. “Rin, antar ke sana, yuk?”

“Ngapain?”

Tanpa sempat menjelaskan, gue tarik tangan Karin, menyeretnya, dan mempercepat langkah kaki menuju tempat duduk perempuan itu. Langkah ini melambat. Gue tiba-tiba ragu untuk menyapa dia, takut salah orang. Kan, enggak mungkin, kalau sampai sana gue malah celingukan gak jelas, lalu demi menyelamatkan harga diri, gue bilang, ‘Cuaca cerah, ya?’

Lima langkah dari tempat duduk perempuan itu, gue menghentikan langkah kaki, kemudian meminta Karin untuk berdiri menunggu. Gue sapa perempuan itu, dia menoleh kaget dan terlihat bingung, “Maaf, siapa, ya?”

Gue kaget. “Uh, maaf mba, salah orang.” Gue memutar otang, demi menyelamatkan harga diri, gue asal bertanya, “Punya korek?”

“Buat apa?”

“Rokok.”

“Heh, sejak kapan ngerokok?!” kata Karin mendorong gue dari belakang, “bilangin mama!”

Dia ketawa, lalu bilang, “Aku inget kok.”

“Ini beneran Manda?” dia mengangguk dengan sisa tawanya, “Wah, parah, bercandanya.. masa lupa sama aku.” Manda ketawa,

“Oiya, ini Karin, pacar aku.” kata gue,

“Sepupu, heh!” mendorong gue, mereka bersalaman, “Ini Teh Amanda yang terkenal lima angkatan?” Amanda hanya tersenyum, “Kok Tama bisa kenal?”

“Karena kenalan, ya Manda?” kata gue,

“YA, IYALAH!” kata Karin kesal, Manda ketawa,

Manda mempersilakan kami duduk. Kami saling bertanya kabar, atau apapun yang bisa melarutkan suasana. Sudah lama kami tidak ketemu, banyak cerita yang bisa gue dengar. Dan tujuannya sama seperti gue, karena undangan reuni dan rindu kampung halaman.

Manda tidak buru-buru pulang ke rumah hari ini. Karena Manda sedang mengenang cinta pertamanya.

Dulu, saat berumur lima tahun, setelah kedua orang tuanya bercerai, ayah Manda mendapat hak asuh dan membawa Manda pindah ke luar kota. Tepat di bangku ini, Manda kecil menangis sendirian, karena ayahnya kebelet pipis pergi mencari toilet.

“Terus? Terus?” tanya Karin antusias,

Di antara kerumunan orang, seorang anak laki-laki seumuran Manda datang, memberi Manda sapu tangan untuk menghapus air matanya dan menjauhkan Manda dari kesepian. Kata Manda, anak laki-laki itu juga kehilangan ayahnya di keramaian.

Di tempat duduk ini, dulu mereka berdua duduk berdampingan. Dua orang yang sama-sama menunggu ayah masing-masing untuk menemukan. Manda kecil bahagia, tidak lagi merasa sendirian. Enggak lama kemudian, ayah Manda datang, ketika kereta hendak pergi.

Tanpa berpamitan, Manda pergi meninggalkan kota dan anak laki-laki itu sendirian.

“Kami enggak banyak bicara waktu itu, aku lupa tanya namanya. Cuma sapu tangan ini yang ada. Bagi aku, dia itu cinta pertama.”

“Anak lima tahun tahu apa tentang cinta?”

“Cinta enggak kenal umur.” kata Manda membuat gue bungkam, Karin mengangguk setuju,

Gue tertegun. Enggak mau kelihatan bego, gue bilang, “Kalau aku anak laki-laki itu, aku bakal cari sapu tangan itu.” kata gue dengan yakin,

“Kenapa?”

“Kelihatan mahal. Enak aja, kamu bawa.”

“Cowok matre.” Kata Karin,

Mereka berdua ketawa menang, seolah merasa bangga bisa ngatain gue. Situasinya enggak mendukung gue untuk menang. Kalaupun gue bisa membalas, tetap aja gue kalah jumlah, enggak mungkin kan, kalau gue ketawa sendirian ketika berhasil membalas?

Karin dan Manda mendominasi percakapan. Gue lebih banyak diam mendengarkan seksama, hanya sesekali ikut dalam percakapan. Gue lihat mereka berdua seperti adik-kakak yang sangat akur. Berbeda kalau Karin ngobrol sama gue, kami berdua seperti dua orang saudara yang pecah karena berebut harta warisan.

Sepupu gue itu orangnya absurd kalau lagi ngobrol, bisa bebas ngomong apa saja tanpa takut habis pulsa karena operator yang berbeda. Tiba-tiba Karin tanya ke Manda, “Teteh punya pacar?”

“Belum. Kenapa emang?” tanya Manda,

“Sepupu aku belum bisa move on dari Teh Dara.”

“Heh!” kata gue sewot, gue refleks mendorong Karin pelan, “Jangan dengerin! Dia pernah turun dari angkot kepalanya duluan, jadi otaknya agak geser gitu.” Gue panik menjelaskan. Manda ketawa, Karin mencubit gue sampai merintih kesakitan,

Manda berhenti ketawa, kemudian menatap Karin, lalu bilang, “Karin cantik, pasti udah punya pacar?”

“Makasih yang lebih ehehe.” Karin senyum-senyum salah tingkah, dipuji sama yang jauh lebih cantik, “tapi belum punya. Ehehe.”

“Nunggu yang lagi datang.” kata gue,

“Siapa?” tanya Manda,

“Si Boy.” kata gue, Karin terkejut,

“HEH!” Sambil mencubit gue lebih keras, gue teriak kesakitan, Manda ketawa melihat kami berdua. Karin terdiam malu, pipinya berubah merah,

“Tuh, kan, pipinya merah!” Karin mendorong gue sampai jatuh dari kursi karena pantat gue tidak siap. Untung gak ada orang yang memerhatikan. Kalau ada, mereka akan berpikir gue adalah laki-laki yang terjajah.

Gue kembali duduk, tiba-tiba Karin bilang, “Tam, haus. Minta uang?”

Gue bilang, “Cewek matre!”

Manda ketawa. Karin tetap meminta dengan manja-manja, matanya menatap gue dengan penuh harap, membuat gue enggak tega. Kemudian gue merogoh saku, memberi Karin satu lembar uang limaribu. “Ih, enggak cukup atuh, lah.. Teh Manda juga mau kan?”

“Boleh..” gue kasih Karin tambahan dua keping uang receh lima ratusan,

Karin mengeluh, “Koret!” yang artinya, pelit!

Manda lalu bilang dengan sisa tawa, “Aku ada nih.”

“Eh, gak usah, biar dia bekerja keras.” kata gue sambil kasih satu lembar uang lima puluh ribu dengan gerakan tangan mengusir ayam

Karin pergi meninggalkan kami berdua duduk di bangku peron stasiun dengan suasan yang berubah sedikit canggung.

Ketika gue hendak membuka percakapan dengan sebuah kalimat sederhana, Manda bertanya, “Jadi, bener apa kata Karin?”

“Apa?”

“Soal Dara.” gue hanya bisa diam, “Belum bisa move on dari Dara?” Manda lanjut bertanya,

“Entah. Aku juga bertanya hal yang sama.”

***

[BAB 1] – Bagaimana (dulu) Kami Bertemu.

Nama gue Tatang Pratama. Gue tidak begitu ingat bagaimana kami berdua ketemu lalu saling kenal. Sore itu, Hari Rabu, sekitar jam setengah empat. Setelah gue piket membersihkan kelas sepulang sekolah dan membawa beberapa barang temuan. Gue membawa selembar kertas pendaftaran, duduk di antrian panjang untuk wawancara calon pengurus OSIS periode baru. Boy dan Didi sudah pulang duluan setelah wawancara mereka selesai. Orang tua Didi baru pulang dari luar kota, Boy disuruh pulang sama orangtuanya.

Tempatnya di lantai dua bangunan kelas XI MIPA. Di depan pintu ruangan, ada Akang (panggilan untuk kakak kelas laki-laki) yang menjaga pintu sambil memanggil satu per satu nama calon pengurus OSIS. Mukanya terlihat lebih tua dari remaja pada umumnya, badannya sedikit kurus, rambutnya kayak landak. Dengan suara cempreng tapi dibuat berat. Bukannya terlihat sangar, jatuhnya malah kayak preman sangar pakai tato dari hadiah permen yosan. Gak banget.

Hari itu adalah pertama kalinya gue ikut seleksi wawancara kayak gini. Setelah Didi dan Boy berhasil membujuk gue untuk ikutan dengan dalil, ‘Kalau kita jadi OSIS: Setiap tahun, kita duluan yang akan bertemu dedek-dedek unyu. Kesempatan kita buat dapet incaran muda lebih besar.’

‘Kok, bisa?’ tanya gue,

‘Kan, dedek-dedek unyu itu belum pada tahu kalau ada yang lebih ganteng dari kita bertiga.’ Mendengar itu, dengan mudahnya, gue terbujuk. Padahal, dedek-dedek unyu belum tentu mau. Ada satu alasan lagi sebenarnya, semenjak kepindahan seseorang ke rumah, gue jadi ikut wawancara OSIS sekarang.

Gue merasa gugup banget. Demam wawancara. Kaki gue enggak bisa berhenti gemetar, berasa lagi harlem-shake tapi enggak pakai lagu. Tangan dan ketiak gue bisa jadi sumber mata air buat kuman dan bakteri. Udara sore itu terasa dingin, bikin gue kebelet pipis. Gue berdiri, lalu menghampri Akang penjaga pintu.

‘Kang?’

‘Ya?’ Jawabnnya malas, ‘Dara Elisa.’ Memanggil peserta selanjutnya,

‘Saya, boleh–‘ kalimat gue terhenti, seorang perempuan datang dari arah belakang gue mengangkat tangan menjawab panggilan Si Akang penjaga,

‘Ya, masuk.’ Akang penjaga membuka pintu, perempuan itu masuk ke ruangan,

‘Saya, boleh–‘

‘Tatang Pratama.’ Kata akang penjaga memotong dialog dengan memanggil nama gue,

‘Saya kang?’ kata gue sambil memegang dada,

‘Ya, masuk.’ Akang penjaga membuka pintu lagi, mendorong paksa gue buat masuk,

‘Tapi–‘ gue di dalam ruangan, pintu sudah tertutup

‘Tatang Pratama?’ Seseorang memanggil nama gue, mempersilakan duduk di sebelah perempuan yang tadi masuk duluan, gue menyerahkan kertas formulir,

Akang yang duduk di depan gue berbisik ke Si Teteh (panggilan untuk kakak kelas perempuan) yang duduk di sebelahnya, tangannya bergerak seperti gerakan takbiratul ihram. Akang itu sepertinya izin solat. Dia beranjak dari tempat duduknya, lalu seorang Akang yang lain, datang menggantikan Akang yang tadi. Gue terkejut, Kang Rama duduk depan gue.

Hari itu gue merasa jadi orang yang paling kurang beruntung. Kang Rama terkenal paling galak pas MOS minggu lalu. Kalimat yang keluar dari mulutnya ketika evaluasi, pasti bikin murid baru yang mendengarnya merasa sia-sia belajar selama sembilan tahun.

Gue masih ingat, waktu itu hari ke terakhir MOS. Sekolah ini punya budaya untuk selalu kompak, untuk menjadi lebih baik bareng-bareng satu angkatan. Kami, satu angkatan, disuruh membawa makanan yang sama. Tapi ada berapa belas orang enggak bawa makanan.

Sore hari, pas jadwalnya evaluasi, Kang Rama memasuki puncaknya marah-marah. Kayak cewek lagi pms lalu jari kelingking kakinya kepentok kaki meja.

Gue masih ingat hari itu, dia bilang, Bawa makanan cuma buat sendiri, kalian itu enggak hidup sendiri, bung! Kalian harus peduli sama orang-orang sekitar! Gimana tuh, temen kalian yang gak bawa makanan?!’

‘Mau dibiarin kelaparan, kang!’ Kata salah satu teteh-teteh dari arah belakang,

Bagian teteh-teteh itu kayak kompor, gue paling sebal kalau sudah dengar mereka mengompori. Rasanya pengin banget gue siram muka mereka pakai air comberan. Mengingat gue masih anak baru dan masih adik kelas, gue enggak berani.

‘Kalian itu satu angkatan, kompak, harus peduli satu sama lain! Susah-senang lalui bareng-bareng! Masuk bareng, lulus juga bareng! Makan bareng, lapar juga bareng-bareng!’

‘Kenapa harus kang, aku kan, lapar..! Temen mah, bodo amat.’ Kata salah satu teteh-teteh,

‘Disuruh hal yang sederhana aja nggak kompak. Buat apa kalian sekolah disini?!’

‘Mau buang-buang duit orang tua, kang!’ suara yang satu ini entah berasal dari mana.

Kang Rama menarik napas, suaranya lebih pelan, ‘Buat apa kalian sekolah, kalau enggak peduli sesama?’

Kalimat itu yang masih gue ingat sampai sekarang. Sampai di rumah setelah MOS selesai, kepala gue selalu terngiang-ngiang kalimat itu. Gue berpikir lagi dan lagi, lalu bergumam, ‘Oh. Iya juga, ya.’ gue merasa sia-sia setelah sekolah sembilan tahun.

Kang Rama duduk, membaca kertas formulir yang kami bawa. ‘Kalian satu kelas?’

Kami berdua menoleh berbarengan, lihat-lihatan, ‘I-Iya..’ kata cewek itu ragu,

‘Kelas sepuluh MIPA tiga?’

‘Iya.’ Kami berdua menjawab yakin, berbarengan,

‘Kalian belum kenalan, ya?’ sebelum mulut gue menjawab, ‘Kenalan dulu..’

Perempuan menatap gue, kemudian mengulurkan tangannya, mengajak gue untuk salaman, ‘Dara Elisa, panggil aja Dara.’

‘Tatang Pratama, panggil aja Tama.’

‘Kalian siap?’ tanya Kang Rama ramah. Gue sedikit heran, sikap Kang Rama beda banget kayak sewaktu MOS satu minggu yang lalu.

‘Kenapa kalian ingin menjadi pengurus OSIS?’ tanya Teh Putri, ‘Silakan Dara untuk menjawab.’

‘Saya ingin menambah pengalaman berorganisasi, belajar mengelola waktu...’ Dara menjawab pertanyaan dengan lancar dan sangat tenang. Sementara gue yang kebelet pipis, harus berpikir keras untuk jawaban yang tepat. Jujur, gue masuk OSIS ini cuma ikut-ikutan Didi dan Boy. Enggak ada alasan khusus dan alasan lain lagi. Dan saat itu gue baru menyadari satu hal; Ternyata, berpikir sambil nahan pipis itu susah.

‘Silakan Tatang untuk menjawab.’

‘Ya?’ gue kaget, keluar air kencing setetes,

‘Kenapa anda ingin menjadi pengurus OSIS?’

‘Saya..,’ gue berpikir sejenak, ‘saya ingin menjadi manusia yang tidak egois. Saya ingin belajar. Seperti yang Kang Rama katakan saat MOS; untuk lebih peduli kepada sesama. Saya ingin lebih dewasa. Bukan selalu dimengerti, tapi mencoba untuk mengerti orang lain.’

Setelah bilang kalimat itu, gue jadi sedikit lebih tenang. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya gue bisa menjawabnya, meski terkadang air kencing hampir keluar setetes. Berbeda dengan gue, Dara menjawab pertanyaan dengan yakin dan anggun. Wawancara selesai, panitia akan mengumumkan hasil wawancara pada Hari Sabtu. Kami dipersilakan meninggalkan ruangan. Di depan pintu, Dara pamit duluan, gue hanya mengangguk, lalu pergi menuju toilet. Masih ada amunisi yang belum keluar.

Dengan perasaan lega, gue kembali ke kelas. Ketika di depan pintu, ternyata Dara masih ada di dalam kelas.

‘Belum pulang?’

‘Bolpen aku hilang..’ Kata Dara,

‘Tadi aku habis piket, ada beberapa temuan Bolpen, mungkin salah satunya punya kamu.’ Gue membuka tas, mengeluarkan tempat pensil, dan mengeluarkan barang temuan gue hari ini. Ada sekitar tujuh bolpen, dua penghapus, satu pengserut, tiga pensil, satu tip-ex, dan satu penggaris besi. Lumayan.

‘Ini mah namanya, bukan nemu. Habis ngerampok.’

‘Kan ini dikembaliin.’

‘Kamu enggak kasihan gitu, sama orang-orang yang punya? Mungkin sekarang mereka lagi nyariin, ngerasa kehilangan..’ kata dia, kemudian mencari Bolpennya,

‘Salah sendiri nggak dijaga baik-baik.’ Jawab gue, dia menggangguk pelan,

Setelah ketemu, dia tersenyum, ‘Makasih, ya..’

‘Iya.’ Gue merapikan kembali barang-barang temuan,

‘Eh, sebentar,’ gue menoleh, ‘Aku boleh minta satu?’

‘Katanya kasihan sama orang-orang yang punya..’

‘Salah sendiri nggak dijaga baik-baik. Hehe, boleh, ya?’

‘Boleh, deh. Pilih aja..’ Dia memilih bolpen warna merah jambu gambar hello-kitty. Memasukkannya ke dalam tas, gue masih membereskan barang temuan.

‘Rumah kamu, di mana?’ Tanya Dara,

‘Jalan Anggrek nomor 18.’

‘Kita searah dong, aku di Jalan Anggrek nomor 14.’ Gue terkejut, ‘Aku baru pindah ke rumah nenek pas lulus SMP. Nenek Sri, tahu?’

‘Oh, Nenek Sri.. tau, tau..’

Setelah gue selesai membereskan barang temuan. Dara belum beranjak pergi. Tiba-tiba Dara bilang,  ‘Pulang bareng, yuk?’

Gue mengangguk mantap. Sore itu, kami berdua pulang jalan kaki menuju rumah. Sore itu berlalu menyenangkan. Katanya, dia suka kota ini, udaranya masih sejuk. Enggak terasa kami tiba di depan rumah Dara. Saling melambaikan tangan. Sore hari itu berakhir dengan perasaan yang sedikit rumit dijelaskan.

Kalau tidak salah, hari itu juga, sepupu gue Karin datang ke rumah untuk menetap. Paman dan bibi gue meninggal dunia setelah berhasil menghindari tabrakan dengan pengendara mobil yang mabuk, kemudian jatuh terguling dari jalan layang.

***

Hari ini. Rumah Didi, pukul [19:28]

Setelah menjemput Boy tadi siang, kami berkumpul di Rumah Didi, markas kami bertiga sejak kelas dua SMP. Gue dan Boy sering banget menginap, biasanya kami bertiga bikin PR bareng, nonton film bajakan dari ganool bareng, atau melakukan ritual khusus yang biasa kami lakukan sebelum tidur: curhat-curhat ganteng. Berbagi kegelisahan masing-masing.

Malam ini, kami punya kegelisahan yang sama: kami gelisah, karena surat undangan reuni SMA yang kami terima. Rencananya, malam ini kami akan membagi kegelisahan masing-masing dengan begadang.

Setiap berkumpul di markas, posisi kami selalu sama. Sebagai tuan rumah yang berkuasa, Didi selalu tiduran di atas kasur ranjang kecil bergambar Batman yang sedikit merapat ke tembok. Sementara gue dan Boy bisanya tidur di kasur palembang merah yang digelar di lantai. Sebagai teman yang baik, Didi melayani kami seperti gelandangan dengan sangat baik.

Enggak selalu di kasur palembang, Boy juga biasanya tiduran manja di sofa buluk warna cokelat dekat lemari. “Nanti Sabtu, kalian bakal datang reuni?”

“Gue pasti datang, pengin ketemu Andin. Sekarang udah secantik apa, ya?” mukanya berubah mesem-mesem najis,

“Emang belum pernah ketemu lagi?”

“Belum, gak pernah malah.”

“Lihat fotonya di medsos, gitu?”

“Dia enggak pernah pasang foto. Takut zina mata buat orang lain katanya.” Mendengar itu, gue jadi pengin tobat.

“Kalau lo, gimana, Di?”

“Masih bingung, bakal datang atau enggak.” Jawab dia sambil berbaring, menerawang langit-langit kamar, “Masih ada perasaan yang harus gue sampaikan, sih..”

“Perasaan buat Syahna?” gue sebut nama cewek yang terakhir kali Didi coba raih,

“Bukan Syahna. Nama dia ada di kotak rahasia.”

Di rumah Didi terdapat loker untuk satu orang dengan ukuran 30cm x 30cm yang disatukan. Panjang total 90cm, dan tinggi 30cm. Biasanya kami menyimpan rahasia kecil masing-masing di loker itu. Kami biasa menyebutnya, Kotak Rahasia.

Di atas loker itu ada mainan action-figure milik kami bertiga. Gue punya The Flash, Didi punya Batman, Boy punya Green Arrow dan Super-Girl. Boy punya dua, katanya kasihan kalau super hero kesayangan dia berdiri sendirian di atas Kotak Rahasia.

Ayahnya Boy yang membuat kotak rahasia sewaktu kami pertama kali berteman sejak kelas tiga SMP. Tahun itu menyenangkan, untuk pertama kalinya gue bisa punya teman yang senasib-sepenanggungan, menjadi anak-anak yang tidak populer.

Berteman dengan mereka adalah sebuah pemberian yang berharga untuk gue. Banyak kejadian yang kami lewati satu tahun terakhir di SMP. Gue ingat, dulu Boy satu-satunya dari kami yang pernah punya pacar. Tapi hanya berlangsung selama empat jam, baru nembak jam istirahat sekolah, pulang sekolah sudah putus.

Nama panjangnya Dimas Priyadi. Sewaktu SMP atau SMA, Didi bisa aja jadi anak terkenal, tapi dia lebih memilih berteman dengan kami. Sewaktu SMP beberapa cewek suka sama Didi. Tapi gue punya satu rahasia: Suatu hari setelah tes berenang Didi pernah, pulang tidak pakai celana dalam. Entah bagaimana rasanya menggantung sepanjang perjalanan pulang, mengayun tertiup angin.

Yang gue ingat, di dalam loker gue hanya ada beberapa puisi cemen yang gue tulis, dan bunga mawar mati kering yang masih gue simpan sejak SMP. Tadinya buat gebetan gue pas SMP, tapi sampai hari perpisahan tiba, gue masih tidak berani menyampaikannya. Gue hanya hanya bisa menyimpannya. Dan sepertinya, enggak akan pernah tersampaikan.

Entah rahasia apa yang ada di loker Dimas Priyadi dan Entis Sutisna.

Rencananya, kami akan membuka kotak rahasia itu ketika umur kami tujuh puluh tahun nanti. Dulu gue yakin banget kalau bisa hidup sampai umur tujuh puluh tahun. Tapi setelah beranjak dewasa, gue tiba-tiba enggak yakin. Soalnya saat nge-kost, gue kebanyakan makan mie instan. Sepertinya, ketika umur enampuluh tahunan, gue akan terserang penyakit panu.

“Kalau lo, gimana Tam?” pertanyaan kampret itu muncul dari mulut Didi,

“Kayaknya enggak bakal datang.”

“Kenapa?”

“Gakpapa.” Gue menatap loker, dan teringat sesuatu. Ada satu rahasia lagi yang tersimpan di loker gue. Ada beberapa pucuk surat cinta buat Didi, bukan dari gue. Surat itu... dari seseorang.

***

Besoknya, ketika di sekolah, gue berharap Dara akan menyapa gue seperti kemarin, lalu kami berdua ngobrol lagi, ternyata dia tidak menggubris gue sama sekali. Gue hanya bisa diam-diam memerhatikan dia yang mulai akrab dengan teman cewek satu kelas yang waktu itu sedang berkerumun.

Gue akhirnya tahu kenapa seminggu kemarin enggak pernah lihat Dara. Selain karena gue enggak hadir sewaktu awal masuk sekolah karena hadir di pemakaman orang tua Karin, menurut informasi yang gue dapat, selama satu minggu kemarin, pas istirahat, Dara lebih sering main ke kelas X MIPA 4 ketemu Mia, teman satu SMP-nya. Masih adaptasi.

Enggak lama, bel istrahat pertama bunyi, Dara pamit pergi dari kerumunan, lalu keluar kelas. Kayaknya mau ke kelas sebelah buat ketemu Mia.

‘Kantin, yuk?’ ajak Boy, ‘Bakso..’

‘Ayo..’ jawab gue,

‘Mau solat Duha, kalian duluan, nanti gue nyusul.’

Gue dan Boy menuju kantin. Ketika sampai di sana gue langsung duduk di bangku kantin, Boy menuju tukang bakso, untuk memesan tiga mangkuk bakso. Tebakan gue benar, gue lihat Dara memesan siomay sementara Mia lagi beli kerupuk di bibi kantin.

Kalau gue perhatikan, Dara ternyata lucu juga. Rambutnya sepundak lebih beberapa senti, digerai, dengan warna hitam alami. Senyumnya sejuk, gue merasa duduk di bawah AC. Matanya bagus, mungkin karena sering makan wortel yang panjangnya dua belas senti.

‘Ngelihat apaan?’ Tanya Boy, gue menggeleng cepat, ‘Penuh, kita makan nasi kuning aja. Gimana?’

‘Siomay aja, gimana?’ kata seseorang dari arah belakang,

‘Boleh tuh, Didi yang pesen.’ Kata Boy,

‘Siap!’ Didi langsung menuju gerobak siomay. Gue baru kepikiran beberapa menit kemudian, seharusnya gue saja yang pesan siomay, siapa tahu gue bisa ngobrol sama Dara. Ketika gue mau menyusul, Didi sudah pegang pesanan dan kembali melangkah ke arah kami.

Didi kembali, dengan dua piring siomay pesanan gue dan Boy di tangannya. Didi lebih suka makan siomay dibungkus pakai plastik. Gue tahu, itu adalah cara Didi supaya enggak ada orang yang minta, khususnya Boy.

Ketik Dara dan Mia beranjak dari tempat duduk mereka, gue dan Didi masih makan siomay. Siomay Boy sudah habis, siomay gue tinggal setengah porsi, tiba-tiba bel masuk berbunyi. Dengan otomatis, Boy langsung bicara dengan semangat dan lantang, sambil menyambar piring siomay gue, ‘Relawan!’

Padahal, gue enggak minta bantuan sama sekali. Sedikit gak rela, gue hanya pasrah melihat Boy lahap memakan siomay yang tersisa. Siomay di piring gue habis, dengan perut gue yang belum kenyang, kami bertiga bayar lalu buru-buru kembali ke kelas karena ada pelajaran fisika. Menurut cerita yang beredar: Kalau kita terlambat masuk, urusannya bisa kacau. Nilai ulangan fisika dari bab yang sedang kami pelajari langsung dapat nilai nol tanpa susah payah.

Kami sampai di kelas sebelum Pak Yadi. Ketika Pak Yadi datang, suasana kelas berubah tegang. Ketika mata gue tanpa sengaja melihat Dara yang berjarak dua bangku di depan gue. Entah kenapa, gue merasa sedikit lebih tenang. Enggak khawatir dengan apa yang akan terjadi nanti atau yang akan datang kemudian.

‘Selamat pagi menjelang siang semuanya.’

‘Pagi, menjelang, siang, Pak..’

‘Kok pada tegang?’ tanya Pak Yadi, ‘Santai-santai..’ tangannya kayak orang mau menyeberang, minta mobil di depannya memperlambat laju mobil,

Pak Yadi hanya membawa buku fisika dan buku catatan nilai. Sepatunya seperti jarang disemir, tapi masih terlihat bagus, gagah kalau dipakai beliau. Bajunya rapi. Wajahnya ramah, terlihat seperti remaja umur empat puluh tahunan. Penampilannya sederhana, kayak orang yang belum kerja, tapi ternyata guru fisika.

‘Bab pertama yang akan kita pelajari adalah vektor.’

Pak Yadi mulai menulis coretan-coretan di papan tulis kemudian menjelaskan. Gue memerhatikan. Cara menjelaskannya seperti bercerita ringan. Sekitar empat puluh menit beliau menjelaskan, akhirnya beliau duduk. Gue sedikit mengerti apa yang dijelaskan beliau.

‘Ada yang ingin ditanyakan?’ Satu kelas tidak ada yang menjawab, gue masih menulis. Ada hening yang lumayan panjang. ‘Baik. Pertemuan hari ini selesai. Kapan lagi ada pertemuan?’

‘Hari Sabtu, pak.’ Jawab Sandi, Ketua Kelas,

‘Baiklah, kalian kerjakan soal-soal LKS. Kalau ada yang tidak mengerti, Hari Sabtu tanyakan. Minggu depan ulangan.’ Pak Yadi melengos keluar ruangan,

‘Belum ngerti apa-apa!’ Kata Boy sambil menoleh ke belakang-ke bangku gue, dengan suara seperti orang yang frustasi

‘Ah, bercanda, deh kayaknya.’ kata Heru,

‘Dia serius. Kata kakak aku yang lulusan sini, awalnya emang kelihatan santai. Eh, tiba-tiba ulangan. Dan parahnya lagi, yang gak lulus, gak ada perbaikan.’ Kata Tasya, seorang cewek berkacamata,

‘Oke teman-teman, jangan panik. Kita siap-siap. Ulangan atau enggak, kita lihat minggu depan.’ Kata Dara mencoba menenangkan.

Sisa jam pelajaran hari itu gue, Didi, dan Boy berdiskusi tentang bab vektor posisi. Meski diskusi kami jadinya malah seperti ini: ‘Tadi cross-product, gimana caranya?’ tanya Didi,

‘Nyatet, tapi gak ngerti.’ Jawab gue,

‘Gue juga. Yaudah, kita ke kantin aja, yuk? Siapa tau, kalau udah kenyang, kita jadi ngerti.’

‘Mana bisa, Entis?!’ kata gue,

‘Bisa, nanti kita tanya ke bibi kantin. Siapa tau pinter.’

‘Sebentar lagi, kan, waktu Zuhur.’ Kata Didi,

‘Dariapada pas solat enggak konsentrasi. Kalau lapar, gue suka iseng melorotin celana orang pas lagi rukuk.’ Kata Boy memperkuat argumen,

‘Lapar, iseng. Kenyang, bego gitu?’ tanya gue,

‘Ah, kata siapa? Kalau kenyang, gue bisa bangun rumah tangga.’ Jawab Boy,

‘TERSERAH!’

Hari Sabtu, jam pelajaran pertama Pak Yadi enggak masuk. Gue mengerti, Pak Yadi kasih kesempatan ke anak-anak buat mengerjakan soal-soal di Lembar Kerja Siswa. Tapi, kebanyakan dari anak-anak malah ngobrol dan main-main. Gue hanya lihat soal sebentar, cari penyelesaian, ketemu jalan buntu, lalu tutup buku.

Menjelang jam pertama berakhir, Pak Yadi masuk sambil membawa tas jinjing warna cokelat, membuat kelas hening mendadak. Dengan pembawaannya yang santai, beliau bilang, ‘Ada yang ingin ditanyakan?’

‘Pak, saya kurang paham nomor sebelas.’ tanya Dara,

‘Oh, nomor sebelas itu salah soal. Tidak usah dikerjakan. Ada lagi?’

Anak kelas diam, Pak Yadi melihat jam tangannya, bibirnya bergerak seolah menghitung. Karena tidak banyak yang bertanya, Pak Yadi membuka mulut. ‘Baik, saya kira semuanya sudah paham. Rapikan bukunya, di atas meja hanya ada alat tulis. Hari ini ulangan.’

‘Tapi pak, katanya minggu depan?! Dan waktu tinggal 50 menit lagi, Pak..’

‘Yang kita rencanakan dapat berubah sewaktu-waktu. Lagipula, hanya delapan soal, tidak banyak. Kalian pasti bisa.’

Hari itu Pak Yadi langsung membuka tas, kemudian membagikan soal dengan cara kertas terbalik, tidak boleh ada yang membuka kertas duluan. Setelah Pak Yadi mempersilakan, gue lihat, hanya ada delapan soal.

Gue masih belum mengerti sepenuhnya. Setelah empat puluh menit berlalu, Pak Yadi menghentikan ulangan. Pagi itu, gue hanya bisa menjawab lima soal. Ulangan langsung diperiksa dengan teman sebangku. Dan hasilnya, hanya tiga jawaban gue yang benar.

Pagi itu, Dara mendapat nilai tertinggi, dengan menjawab enam soal, dan betul semua. Ada lima orang lagi yang lulus, mereka semua hanya menjawab betul lima soal. Gue mendengus pasrah, langkah pertama gue di ulangan fisika, gagal total.

Hari Sabtu itu, sampai hari menjelang siang, gue merasa kurang bersemangat buat sekolah, suasana hati gue kacau. Setelah solat Dzuhur, tiba-tiba gue jadi ragu buat masuk jurusan teknik sipil yang gue idamkan.

‘Kayaknya cita-cita gue masuk teknik sipil gak bakal terwujud, deh. Fisika gue jelek.’

‘Jangan nyerah. Semangat kita harus kayak besi, ditempa palu enggak akan pecah, malah makin terbentuk. Berdoa juga, supaya Allah bantu kita.’

Mendengar itu gue kembali semangat, ‘Makasih, Di.’

Gue, Didi, dan Boy keluar mesjid kembali menuju kelas. Saat melewati mading sekolah, banyak anak-anak yang berkumpul. Dara terlihat senang berdiri di sana, ekspresi wajahnya kayak muka Rossi yang berdiri di podium pertama setelah nikung Lorenzo diputaran terakhir.

‘Itu di mading ada apa ya, rame-rame?’ tanya gue,

‘Bentar gue tanya dulu,’ Boy menghentikan orang yang datang dari arah mading. ‘Eh bro, di mading ada apa, kok rame?’ tanya Boy sok kenal,

‘Pengumuman calon pengurus OSIS.’

‘Oooh, makasih, ya..’ kata Boy,

Kami bertiga menuju mading. Mencari nama masing-masing. Gue tersenyum menemukan nama gue menjadi salah satu calon pengurus OSIS. Di bagian bawah kertas pengumuman itu tertulis catatan kecil: “Setelah pulang sekolah, harap berkumpul di depan ruang OSIS.”

Didi dan Boy melangkah gontai, tidak bersemangat. Mereka tidak lolos seleksi wawancara. Gue juga sedih mendengarnya, kalau seperti ini, gue lebih baik tidak menjadi pengurus OSIS. Tapi, mereka berdua malah memberi semangat, Boy bilang, ‘Harus lanjut, Tam. Meski tanpa kami berdua. Kalau enggak lanjut, nanti siapa yang bakal bilang kalau ada razia hedset?’

Setelah pulang sekolah. Didi dan Boy menunggu gue di kelas. Setiap Hari Sabtu kami selalu pulang bareng untuk menginap di rumah Didi.

Ada sekitar empat puluh orang yang berkumpul di depan ruang OSIS. Dara juga hadir siang itu. Ada keinginan buat menyapa dia, tapi gue takut disangka sok kenal. Gue duduk di bawah pohon depan ruang OSIS. Ada tempat duduk terbuat dari semen yang melingkari pohon. Beberapa menit kemudian, salah satu teteh pengurus OSIS datang memberi arahan kepada kami untuk berkumpul ke ruangan kelas X IPS 1, yang jaraknya tidak jauh dari ruang OSIS.

Satu per satu, kami masuk ruangan, gue langsung memilih tempat duduk di dekat jendela. Gue paling suka duduk di dekat jendela. Kalau bosan, gue bisa lihat ke luar jendela, kalau iseng gue bisa keluar lewat jendela atau pecahkan kaca. Namanya juga iseng.

Proyektor dan laptop sudah menyala, terhubung ke kabel VGA. Di papan tulis terlihat proyeksi dari laptop. Ada satu orang kakak pengurus OSIS memaparkan program kerja OSIS di sekolah. Setelah selesai, Kak Rama masuk ke kelas. Lalu bilang, ‘Minta perhatian!’

‘Siap!’ jawab kami yang duduk,

‘Hari Sabtu yang akan datang, kalian harus mengikuti Latihan Kepemimpinan Siswa, sekaligus Pelantikan calon pengurus OSIS periode yang baru. Dan ada beberapa barang yang harus kalian persiapkan.’

Kak Rizki menyebutkan barang satu per satu. Kami semua mengambil buku dan alat tulis, mencatat barang yang harus dibawa untuk Hari Sabtu. Sama kayak MOS, nama barangnya disamarkan, kami harus menebak.

‘Kak, izin bertanya?’ suara itu berasal dari barisan pojok seberang, Kak Rama memersilakan, ‘Kalau saya tidak bisa ikut, karena ada keperluan keluarga?’ tanya Adit sore itu,

‘Otomatis, dianggap mengundurkan diri.’

‘Kalau sakit, kak?’

‘Kamu sakitnya pakai rencana?’ tanya Kak Rama,

‘Nggak, maksudnya, KALAU tiba-tiba sakit, kak.’

‘Sama. Otomatis, mengundurkan diri.’ beberapa anak terlihat meragu, Kak Rama tersenyum, ‘Sederhananya gini, kalau kalian benar-benar serius di OSIS, kalian ikut pelantikan, dan itu membuktikan kalian pantas menjadi pengurus OSIS... Ada yang mau ditanyakan lagi?’

Kalimat itu menutup mulut semua calon pengurus OSIS yang hadir. Tidak ada lagi yang bertanya. Kak Rama selesai menyampaikan informasi. Kami dipersilakan untuk pulang ke rumah masing-masing. Gue kembali ke kelas, karena Didi dan Boy masih menunggu.

‘Tama!’ suara seorang perempuan memanggil, gue menoleh ke belakang, ternyata Dara, ‘Kamu temennya Didi, kan?’

‘Iya. Kamu juga kan, temen sekelasnya.’

‘Ya, kamu sahabatnya, kan?’ gue mengangguk kikuk, ‘Boleh minta tolong? Tapi jangan bilang siapa-siapa, aku mau titip ini.’ sepucuk amplop merah jambu,

‘Apa, nih?’ tanya gue, ‘ada uangnya?’

‘Ini surat buat Didi.’ dia tersenyum,

‘Surat cinta?’ tanya gue sambil senyum menahan ketawa, Dara hanya diam, malu untuk mengakuinya, ‘Kenapa enggak kamu kasih langsung aja, simpan di mejannya pagi-pagi?’ Kan, romantis..’

‘Tiap hari kan, bangkunya pindah-pindah..’

Gue diam sejenak, ‘Iya, juga, ya..’

‘Bisa, kan?’ Gue mengiyakan. Dara berpesan kepada gue untuk tidak membacanya dan jangan kasih tahu Didi soal pengirimnya, Dara bilang, ‘Bilang aja, dari pengagum rahasianya.’ Gue mengangguk,

Dara berterima kasih lalu bilang, ‘Aku mau pulang.. Mau pulang bareng?’

‘Boy sama Didi nunggu di kelas, mau pulang bareng, lain kali ya, nanti sekalian aku kasih suratnya.’

Dara pamit pulang setelah menitipkan perasaan tertulisnya kepada gue untuk disampaikan kepada Didi. Gue mengerutkan dahi, sedetik kemudian mengedip, kemudian menggeleng, menarik napas panjang, menatap surat di tangan gue dalam-dalam.

Gue masih sedikit kaget ketika Dara menitip surat ini. Mau-enggak mau, gue harus menyampaikan surat ini. Karena sudah janji. Gue melangkahkan kaki menuju kelas. Ada surat yang harus disampaikan.

Di depan pintu kelas, gue bilang, ‘Di, ada titipan buat lo.’

Gue berpikir lagi. Mungkin lebih baik gue simpan dulu, dan memberikannya nanti di rumah Didi. Suasana hati gue masih kacau, belum saatnya surat ini sampai. Lebih baik nanti.

‘Apa?’ tanya dia,

‘Nanti deh, pas nginep.’ Sore itu, kami pulang sama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar