Minggu, 16 Juli 2017

Sebuah Tulisan Laki-Laki Biasa.

Setelah sekian puluh rencana yang gagal, akhirnya, keinginan gue untuk berenang, terwujud.

Hari Selasa kemarin, gue pergi berenang ke kolam Tirta Sanita yang ada di Cilimus bersama Ujang, Sapar, Inur, Rian, dan Ami. Hari itu, gue sedang libur kerja, Ujang menjemput gue untuk berangkat sama-sama ke Tirta Sanita. Hari itu juga merupakan pelepasan Ujang yang akan pergi ke Bandung untuk kuliah di UNPAD.


Sore itu, Tirta Sanita sangat sepi, hanya kami ber-enam yang berenang, ditemani angin sore Cilimus yang sangat dingin. Kami balapan renang, membuat video slow-motion dengan loncat ke kolam renang, dan seperti kaum milenial lainnya, kami berswafoto. Buat kenang-kenangan, lalu di-upload ke sosial media. Tapi itu hanya sebuah rencana, karena foto yang ada di hape Ami blur semua. Hape Ami yang paling bagus sore itu, bisa swafoto dalam air, tapi sayangnya, yang memotret menggigil kedinginan.

Sore itu, kami adalah sekumpulan remaja yang beranjak dewasa, ingin membuat banyak pengalaman untuk dikenang ketika nanti beranjak tua. Itu pun kalau ada umur. Ehehe.

Sekitar pukul setengah enam sore, langit semakin redup, kami memutuskan untuk naik ke permukaan. Karena kami tidak pakai baju sewaktu berenang, kami naik ke permukaan dengan menggigil hebat. Getaran badan kami bisa membuat pita suara bergetar dan menghasilkan sebuah vibra, kalau saja Si Ujang tidak fals, kami bisa membuat paduan menggigil.

Sebelum pulang, kami solat dulu di musola terdekat. Setelah itu, kami menuju parkiran untuk memarkir motor. Gue tidak bawa motor, karena tidak punya. Tapi, gue bisa kok, mengendarai motor di parkiran. Iya, gue belum berani bawa motor ke jalan raya yang luas, apalagi bawa motor punya orang. Gue pernah bawa motor tetangga untuk menghadiri undangan acara ulang tahun teman gue yang berakhir dengan pecahnya kaca spion kanan, karena kurang gas sewaktu belokan menurun. Gue sebagai pengendara motor gagal, membuat motor sempoyongan.

Oke, malah melantur.

Sore itu, karena Ujang mencoba motor Rian, dan Rian mencoba motor Ujang. Gue ikut-ikutan sepeti mereka, gue naik motor Ami, dan Ami jalan kaki. Ehehe, canda deng. Gue hanya memarkirkan motor Ami dengan metode yang sangat membuang waktu. Karena untuk memutar arah, gue pergi ke tempat yang lebih luas untuk berbelok lalu putar balik. Dan gue juga sopan, meski tidak ada motor yang berada di belakang gue, sein kanan motor menyala. Gue putar balik ke kiri.

Ya, itu bukan salah gue, tapi emang Si Ami yang lupa mematikan sein kanan sewaktu masuk parkiran, dan Ami langsung mematikan motor ketika sudah berada tepat di tempat parkirnya. Gue  juga baru sadar ketika sudah berbelok. Tapi, kalau ada orang yang melihat kejadian sore itu, mungkin dia akan bergumam, `Wah, Ibu dari laki-laki ini hebat, mengajari dia menggunakan lampu sein dengan baik.`

Sore yang semakin gelap itu, kami tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Kami mampir ke rumah Ujang sebentar, untuk melepas kepergian dia besok siang. Orang tua Ujang, menyambut kami dengan baik. Iya, gue bilang itu barusan, supaya suatu saat ketika main lagi, dibuatkan mie goreng yang enak dan dapat restu untuk mendekati adiknya Ujang. Itu pun kalau Bunda Ujang baca tulisan ini.

Ehehe, bercanda, Bunda..

Mungkin sekitar jam tujuh, langit sudah gelap. Kami makan mie goreng buatan Bunda Ujang. Gue juga makan kue nastar tujuh biji diam-diam, tapi akhirnya gue bilang ke Ujang kok, dan dia bilang, `Gakpapa, asal inget makannya aja, berapa.. satunya gopek.`

Gue berhenti makan nastar.

`Yaudah, makan ini aja.` Gue membuka toples kacang koro, langsung ambil dan memakannya,

`Nah, kalau itu, karena kecil, dua ribu satunya.`

Gue mengunyah dengan ragu-ragu. Seperti kakek-kakek ompong yang mengunyah biji besi utuh. Sulit.

Ujang memang suka bercanda. Teman yang asyik untuk ngobrol tentang kehampaan, tapi cukup seru untuk melewati waktu bareng-bareng sama dia. Apaan banget ya bahasanya. Hahaha.

Kami juga membicarakan tentang Rian yang akan kuliah jauh, ke Universitas Brawijaya, di Malang. Rian punya rambut yang jabrik sewaktu kelas sepuluh, gaya rambutnya pun, kalau tidak botak, ya cepak. Semakin dewasa, rambutnya jadi panjang dan berponi.

`Besok ke Bandung kapan?` tanya Inur,

`Kapan Bu, berangkatnya?`

`Siang. Jam dua belasan.`

`Cie, anak Bandung..` kata Rian,

`Ai kamu ke mana?` tanya Inur, ke Rian

`Si Rian mah mau ke Malang.. jualan bakso.` kata Si Ujang dengan santai, kami tertawa,

`Heh!` Kata Si Rian tidak terima,

`Eh iya, maneh rambutnya udah panjang. Cukurnya jangan di Malang.` Kata Si Ujang,

`Kenapa emang?`

`Takutnya nanti dikasih model rambut cukuran mangkok bakso.` Kata Ujang lagi, kami tertawa,

Banyak yang kami obrolkan malam itu, tentang masa depan. Tentang gue, Sapar, dan Inur yang mau coba lagi tahun depan. Tentang Ami yang kemungkinan kuliah di Jakarta. Ah, Si Ami mah emang punya banyak uang. Wajar. Tidak seperti gue.

Kami bicara banyak hal, seolah ini akan menjadi yang terakhir sebelum kami berpisah. Kami memang bukan teman dekat. Kami hanya teman dari SMP. Tapi, ketika dua orang atau lebih, punya kenangan berarti yang pernah dibuat sama-sama, meski bukan teman dekat, akan nyambung kalau bersama.

Kami dulu pernah menjadi teman nongkrong di Leter L sewaktu SMP. Leter L adalah tempat duduk yang terletak di dekat lapangan, terbuat dari semen, dan bentuknya seperti huruf L. Gue, Ujang, Inur, dan Sapar yang sering nongkrong di situ. Rian dan Ami kadang-kadang. Hmm, sekolah menengah pertama, selalu seru untuk dikenang. Kalau bisa memutar waktu, gue ingin kembali ke sana.

Ya, melantur lagi. Oke.

Malam semakin larut, yang mengharuskan kami untuk pulang. Rian pulang duluan, katanya karena kakaknya marah, menyuruh Rian untuk pulang. Ami yang kemudian menyusul pulang. Sapar mengantar Inur untuk pulang. Karena Ujang menjemput gue, dia ‘seharusnya’ mengantar gue pulang. Dan dia setuju untuk mengantar gue pulang.

Ujang bercerita tentang Bandung yang tidak pernah gue tahu seperti apa rasanya berdiri di sana, melihat bangunan dan menyusuri jalan yang ada di sana. Dan gue malah teringat cerita dia saat menjemput gue tadi siang yang tidak diketahui Rian, Ami, Inur, dan Sapar.

Bukan tentang mereka, tapi tentang hubungannya dengan Euis.

Jadi seperti ini. Dulu, Sewaktu SMP, Ujang adalah seseorang yang mudah untuk menarik perhatian lawan jenis. Selain ramah, Ujang juga ganteng kata Neneknya. Gebetan gue juga pernah jadian sama Ujang, sewaktu gue lagi sayang-sayangnya. Duh, gue jadi masa lalu.

Satu tongkrongan ini, pernah pecah dan semuanya terasa berubah. Ini yang gue rasakan. Yang gue rasakan waktu itu, ada dua pihak yang muncul. Satu ke pihak perempuannya, ada yang ke pihak Ujang. Tidak ada yang peduli sama gue. Waktu itu rasanya hampa. Tidak ada lagi suasana akrab seperti dulu.

Iya, semuanya sudah berlalu. Dan gue rasa, semuanya baik-baik saja. Hanya ada yang berbeda, ada yang pergi, dan mungkin tidak akan pernah kembali. Kedekatan kami yang dulu. Obrolan di Leter L sepulang sekolah, gitar Si Uji yang senar gitarnya sampai putus, kelakuan Si Sahran yang sering membuat gelak tawa, Inur dan Sapar yang sibuk dengan laptop atau kamera DSLR-nya, gue yang nyanyi Inur yang main gitar, Ujang yang sering bawa Olan pacarnya, dan Wi-Fi sekolah yang lumayan ramai lancar sentosa.

Oke, malah melantur lagi. Balik lagi ke cerita Ujang tentang Euis.

Euis adalah orang yang bisa membuat Ujang berubah menjadi lebih baik menurut gue. Ujang tidak seperti dulu, membuat baper sembarang perempuan lagi. Euis ini anak pesantren, dan Ujang ingin Euis menjadi pacarnya sewaktu kelas sepuluh. Tapi, Euis tidak mau, karena ayat Al-Quran-nya jelas. Iya, gue tahu karena gue sekelas sama mereka sewaktu kelas sepuluh.

Euis ini orangnya supel, Ujang pernah marah sewaktu gue ngobrol sama Euis. Hahaha, gue masih ingat. Lucu juga, gue dulu pernah marah karena Ujang dekat sama gebetan gue sewaktu SMP, dan kelas sepuluh Ujang yang marah ketika gue hanya ngobrol sama Euis. Ujang merasakan berada di posisi gue.

Tiga tahun Ujang dan Euis satu kelas, mereka dekat, tapi tidak pacaran. Hubungan mereka lucu, tidak punya status tapi mereka seperti punya komitmen. Gue jadi ingin hal yang sama seperti mereka, sewaktu kelas sepuluh, saat masih dekat dengan gebetan gue, Manda. Tapi, sudah ada orang lain yang menyentuh inti jantungnya. Menunggu Manda adalah hal yang sia-sia kalau gue lakukan. Lain cerita kalau gue punya waktu yang banyak dan kekuatan untuk menunggu lama.

Tapi, selama Manda bahagia, gue dukung-dukung aja. Ya, meski kalian tahu, itu pembohongan publik. Ahaha.

Sori, bercanda. Ehehe.

Gue akan mendukung Manda, selama dia bahagia. Dan gue juga sudah menemukan seseorang yang baru. Mungkin tidak seperti Manda, tapi dia yang gue ingin untuk satu juta tahun ke depan. Semoga dia mau, ya..

Balik lagi.

Kadang, gue membayangkan bagaimana rasanya menjadi Ujang dan Euis. Bagaimana percakapan yang mungkin terjadi antara mereka. Gue jadi berharap hal yang sama seperti Ujang dan Euis di hubungan gue dengan “Girl I can’t have” berikut-berikutnya. Dekat, saling mendukung, saling menyemangati kalau salah satunya terpuruk, lewati malam bareng-bareng, tumbuh ke arah yang lebih baik bareng-bareng, saling cemburu kalau salah satu dekat sama yang lain, tidak perlu status, yang penting komitmen buat tumbuh sama-sama. Namun, di hubungan gue tidak berhasil karena “Girl I can’t have” itu tidak punya perasaan yang sama.

Hingga akhirnya, gue menyadari satu hal. Untuk sebuah komitmen, harus punya perasaan yang sama, degup jantung yang se-irama. Yang bisa gue lakukan sekarang, hanya memperbaiki diri. Karena dalam Q.S. An-Nur [26:30] dituliskan, Bahwa laki-laki yang baik untuk wanita yang baik, begitu pun sebaliknya.

Kadang, gue bertanya-tanya sendiri, 'Kalau laki-laki baik untuk perempuan baik, apa aku bisa disebut baik kalau mengajak kamu pacaran?'

Ya, contohnya seperti cerita Eyang Habibie dan Ainun. Cinta tidak butuh waktu yang cepat, atau hubungan yang singkat. Cinta tidak butuh waktu yang lama, bahkan dalam hal menunggu. Cinta akan datang di waktu yang tepat. Asal kita mau memperbaiki diri, dan bersabar. Itu pelajaran yang bisa gue dapat.

Dan yang baru-baru ini terjadi, cerita tentang Kang Muzammil muadzin di masjid Salman ITB yang baru saja menikah dengan adik kelasnya. Mungkin sebentar lagi akan menjadi muadzin di telinga kanan anak-anaknya. Banyak perempuan yang patah hati, katanya. Sampai muncul tagar #PatahHatiDuniaAkhirat. Gue tersenyum waktu itu, dan terpikir, banyak yang patah hati, tapi tidak mau memperbaiki diri. Ehehe.

Maaf.

Jadi, ketika gue ingin punya pasangan yang baik, yang punya degup jantung se-irama, gue harus memperbaiki diri. Gue harus siap lahir dan batin. Siap membimbing, menjadi kepala keluarga, memberi nafkah lahir dan batin, meminta maaf tanpa tahu apa salahnya, dan menjadi muadzin di telinga kanan anak-anaknya.

Duh, pikiran gue terlalu jauh, ya?


Ya, mungkin, gue masih bukan laki-laki baik, dan masih jauh dari kata baik. Tapi setidaknya gue pengin menuju ke sana. Ke keadaan diri yang lebih baik. Dan semoga, orang yang sekarang sedang gue harapkan ada untuk menemani hidup gue ke depan juga sedang berusaha menjadi baik. Lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemilik Hati. Semoga kami berdua bertemu, berpapasan saat menuju tempat yang sama, dan akhirnya bersatu dalam ikatan yang sah. Aamiin.

Ya, itulah kenapa judul dari tulisan ini "Sebuah Tulisan Laki-laki Biasa". Karena gue hanyalah laki-laki biasa. Belum bisa menjadi laki-laki yang baik. Masih dalam proses. Semoga berhasil ya, dan semoga dia mau. Ehehe.

Itu pandangan gue kepada yang namanya cinta. Kamu bisa setuju atau tidak. Terserah, tidak memaksa harus setuju. Karena bagiku sudut pandang ku, dan bagimu sudut pandangmu.

Gue hanya ingin menulis keresahan yang sedang gue rasakan sekarang. Karena, Ujang bercerita di atas motor sore itu saat kami berdua pergi ke kolam renang Tirta Sanita bahwa hubungan mereka katanya tidak mendapat restu dari Bunda Ujang.  Gue tidak bisa sebutkan kenapa, tapi katanya ada masalah antara Si Bunda Ujang dan Euis. Biasa, permasalahan internal, antara mertua dan calon menantunya.

Ya, semoga semuanya bisa berjalan baik, dan Euis mendapat restu Bunda Ujang. Karena gue belum pernah lihat seseorang yang bisa mengubah orang lain (yang menurut gue) menjadi lebih baik dengan cepat.

Dan setelah mengungkit cerita itu di atas motor saat perjalanan pulang, gue bilang ke Ujang, ‘Tenang, cinta mah selalu punya cara untuk bersatu. Sukses, yah! Kita ketemu lagi. Tunggu, tujuh atau delapan tahun ke depan!’ gue turun dari motor, kami berjabat tangan,

‘Deuh, nanti beberapa bulan juga, ketemu lagi!’

‘Hahaha.’ dan pulang ke rumah.

Dan akhirnya, gue menulis kutipan yang gue buat dari hasil membayangkan menjadi posisi Ujang dan Euis sejak kelas sebelas, dan beberapa bulan yang lalu, bahwa, jika cinta ibarat sebuah permainan, maka cinta adalah permainan panjang menunggu lama.

Kuningan, 16 Juli 2017 pukul 23:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar