Minggu, 25 Juni 2017

Sebuah Tulisan: Satu Tahap dalam Hidup.

#NowPlaying The Scientist - Coldplay

Minggu-minggu awal ketika masuk SMA, Pak Ahmadi guru Bahasa Sunda, pernah bertanya kepada murid-murid kelas X MIPA 3. Hari itu belum belajar, masih tahap perkenalan. Pak Ahmadi bertanya Nama, asal sekolah, alamat, dan cita-cita. Ketika menyebutkan cita-cita, waktu itu gue menjawab, ingin jadi penulis.

Sederhana.

Waktu itu, gue terinspirasi untuk jadi penulis, iya, karena Raditya Dika. Katanya, dia penulis Komedi nomor satu. Dia menuliskan kisah cintanya yang gagal dalam setiap bukunya. Dan saat itu, gue juga ingin seperti dia, bercerita. Gue punya banyak kisah cinta yang absurd, yang kebanyakan tentang jatuh cinta sendirian. Keinginan gue sederhana banget waktu itu.

Ketika masuk kelas sebelas (kelas 2 SMA), Pak Ade guru Sejarah, bercerita tentang penjajah Belanda yang berhasil menerapkan sistem tanam paksa. Banyak kerugian yang Indonesia dapat. Banyak orang pribumi yang tadinya gemuk menjadi kurus, kekurangan gizi, dan berpenyakit. Gue lupa-lupa ingat apa yang Pak Ade ceritakan ehehe. Yang pasti, banyak keuntungan yang Belanda dapat. Kas negara yang tadinya habis karena dipakai Perang Diponegoro (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Perang Padri (di Sumatera Barat), menjadi penuh kembali, malah surplus. Hutang-hutang VOC lunas. Masih banyak deh keuntungannya, coba kalian seacrhing aja, ehehe.

Kata Pak Ade, `Nah, lihat, banyak keuntungan untuk Belanda. Hutang VOC lunas, kas negara penuh kembali, coba kalau Indonesia menerapkan tanam paksa.  Makmur negeri kita.` Pak Ade biasa menjelaskan dengan logat Sunda Kuningan-nya yang khas. Pak Ade, akan menjadi guru yang berkesan untuk gue, sederhana, selalu berpandangan positif, ramah, suka bercanda tapi yang membuat kita `mikir`. Jarang ulangan juga. Pak Ade tidak menuntut banyak, beliau selalu menanamkan nilai moral, kejujuran, perjuangan, kerja keras. Ya gitu-gitu deh.

`Nah, masalahnya, di negara kita malah banyak membangun Industri, lahan banyak dibangun pabrik, dan banyak anak petani yang enggak mau menjadi petani. Kenapa? Karena kehidupannya kurang sejahtera.` kata Pak Ade, anak-anak mendengarkan dengan seksama, `Mungkin nanti, beberapa tahun kedepan, pekerjaan sebagai petani akan hilang di KTP.`

`Mungkin bagus, kalau doktor, ilmuan-ilmuan Indonesia mengembangkan hasil pertanian di Indonesia. Apokat, direkayasa, jadi Apokat tanpa biji, misalnya. Beras kita dapat impor. Dan penjualan beras juga enggak adil. Si Ibu A beli beras satu kilo, si Ibu B beli beras satu kilo, emang sama jumlah butirnya?` anak-anak kelas ketawa waktu itu, `coba pang hitungkeunDibilang, sok mangga, dibilang.` (coba tolong dihitung, silakan dihitung satu-satu), dengan logat Sunda Kuningan-nya, anak-anak kelas semakin tertawa.

`Kenapa tidak kita rekayasa, buat beras khas dari Indonesia. Beras yang tadinya sebesar butir, jadi sebesar pepaya?` ya, gitu, kalau pak Ade ngajar,

`Kan, mungkin pas beli beras jadi enak hitungnya.`

Penjual      : Beli berapa bu?

Pembeli     : Sepuluh ribu

Penjual      : Oh, lima remeh. (Lima butir)

Kami tertawa lagi.

`Negara kita itu kaya, tapi kita terlena. Negeriku.. negeriku..` kata beliau,

Dari sini, gue berpikir, iya juga ya. Gue juga kadang berpikir tentang raskin (beras miskin) yang (sekarang katanya berubah jadi rastra (beras sejahtera) tapi dengan rasa yang sama) sering gue makan. Kalau kalian, belum pernah mencoba bagaimana rasanya, cobain deh, kadang keras, kadang kalau dimakan dengan lauk tempe goreng yang gue suka, selera makan jadi hilang.  Gue bertanya sendiri, kenapa raskin bisa sampai ada? Kenapa tidak memberi beras yang terbaik supaya mencerdaskan kehidupan bangsa?

Dari situ, akhirnya, gue ingin menjadi ilmuan. Perekayasa. Ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Gue cari jurusan-jurusan yang bisa jadi perekayasa. Ternyata, gue baru tahu, jurusan FMIPA itu untuk ilmuan, dan rekayasa itu biasanya ada di teknik-teknik biologi. Agroteknologi, Teknik pertanian, Rekayasa Hayati dan Nabati. Gitu-gitu. Tapi, gue pengin juga jadi ilmuan yang tidak hanya dalam satu bidang. Dan gue menemukan jurusan yang luas, Teknik Kimia.  Gue ingat, Pak Ade juga pernah cerita tentang Dr. Warsito Purwo Taruno, lulusan Teknik Kimia UGM dan Shizouka University, yang membuat alat terapi kanker. Dari Teknik Kimia jadi ke kesehatan. Enggak melulu Teknik Kimia itu soal Industri.

Masalahnya, peminat Teknik Kimia banyak. Gue sempat ragu memilih jurusan ini. Tapi, untuk mencoba, kenapa enggak? Tapi, masalah-masalah lain muncul ketika hari untuk berjuang di SNMPTN, SBMPTN, dan lain-lainnya.

Sewaktu SMA, gue adalah anak yang aktif mengikuti organisasi siswa intra sekolah. Waktu kelas sepuluh, kalian bisa tanya ke kakak kelas gue. Siapa yang sepulang sekolah langsung datang ke ruang OSIS? Atau, siapa yang sering pulang sore, malam, atau bahkan menginap di sekolah ketika ada kegiatan? Gue akan ada di salah satu jawaban mereka. Gue tidak ikut bimbel. Alasannya karena: Pertama, gue pikir, di sekolah juga cukup. Nilai gue tidak jelek-jelek amat, selalu berada di tengah-tengah jumlah siswa satu kelas. Kedua, gue tidak punya biaya untuk ikut bimbel. Oke, kita bicara tentang keluarga. Keluarga gue bukan kelas menengah ke bawah, mungkin ada di bawah malah. Sewaktu SMP, gue masuk sekolah yang banyak peminatnya di Kuningan, dan gue tidak membayar SPP. Nilai UN SMP gue lumayan bagus, dan rapot cukup memuaskan. Gue masuk SMA yang banyak peminatnya di Kuningan. Dan, gratis.

Mungkin, banyak orang-orang yang tahu tentang gue. Tapi tidak banyak orang yang tahu tentang ini. Gue curhat ya. Ehehe. Iya, ini juga salah satu alasan kenapa gue tidak pernah berani mengungkapkan perasaan kepada orang yang gue suka. Cinta masa SMA itu rumit tidak seperti cinta sewaktu gue SD. Ehehe, lucu juga sih.

Iya, cinta masa SMA itu sulit untuk gue raih. Ketika gue lihat anak-anak lain gitu, bawa motor ke sekolah, bahkan memasuki kelas dua belas, ada yang bawa mobil. Cukup keras, dan sulit hidup berbeda dengan kebanyakan. Tapi gue masih bisa bergaul sama mereka. Berbeda sama cinta sewaktu SD. Sederhana. Tatap-tatapan dari tempat duduk aja seneng banget. SMSan sampai malam. Car Free Day bareng. Bercanda bareng. Kesana kemari masih dijemput orang tuanya. Ketika SMA, antar jemput adalah tugas seorang cowok. Dan gue, tidak termasuk cowok seperti itu.

Makanya, ketika gue SMA dan dekat sama cewek, ya hanya bisa sampai dekat, tidak bisa untuk mengikat. Ya ampun, bahasanya. Hahaha. Ya, takut kehilangan, kalau nanti dia menemukan yang bisa membuat dia lebih nyaman. Dan bisa antar jemput tentunya. Menghabiskan banyak waktu berdua lebih lama.

Sewaktu SD gue pernah punya pacar, kami tidak menuju SMP yang sama. Kami pisah. Gue yang memutuskan, itu pun tidak secara langsung, ya, maklum waktu itu gue pipis juga masih zig-zag, belum bisa parabola sempurna. Dan ketika masuk SMA, ternyata dia juga masuk SMA yang sama. Sedikit canggung. Dan micro-chiroptera-nya, kelas sebelas dan dua belas, kami satu kelas. Ehehe, udah ah bahas yang kayak gininya.

Balik lagi ke cerita utama, ya.

Waktu SMA, gue sebenarnya tidak terlalu niat masuk OSIS, gue diajak sama Akang pembimbing sewaktu Program Pengenalan Lingkungan Sekolah. Gue sempat ragu. Tapi, saat gue baca selebaran OSIS, di situ tertulis, `Jangan tanyakan apa yang sekolah beri padamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada sekolahmu.`

Saat itu, gue berpikir, gue sudah dikasih bebas biaya sekolah di sini. Kalau untuk prestasi belum tentu bisa gue kasih. Eh, bisa sih, asal ada guru yang mau membimbing gue lebih, kayak waktu SD, ehehe. Balik lagi, ya prestasi belum tentu bisa gue kasih, gue akhirnya mengabdi sebagai pengurus OSIS di SMA. Banyak kenangan masuk organisasi. Dan gue banyak belajar di dalamnya, ehehe. Kalau bisa, ingin diulang.

Ya, waktu itu, yang tadinya enggak niat gue malah `terlalu` menikmati, yang malah membuat gue sedikit tertinggal. Sewaktu kelas sepuluh aja, gue enggak bisa konfigurasi elektron. Hahaha, lemah. Ya, waktu berjalan, gue menikmatinya. Nilai gue tidak terlalu buruk, di rapot nilai tujuh paling hanya ada satu. Gue berusaha sebisanya, tidak menyontek saat ujian-ujian semester atau kenaikan kelas. Karena dari SMP emang gitu. Gue akan berusaha mengerjakan apapun yang gue bisa. Kalau kira-kira gue bisa mendapat nilai yang pas, tidak terlalu kecil atau pun besar, dan tidak dibawah kkm, gue akan selesai mengerjakan. Tapi kalau sebaliknya, gue akan berusaha, mengelabui pengawas.

Tapi kebiasaan buruk itu hanya terjadi kelas sepuluh, masih membawa kebiasaan dulu. Tapi kelas sebelas dan dua belas, gue tidak melakukannya, paling sekali kalau gak salah. Ya, karena ada janji yang harus gue tepati, sama seseorang. Ehehe.

Dan, ketika kelas dua belas, gue mendengar kabar bahwa, SNMPTN HANYA MENERIMA 50% DARI JUMLAH SISWA. Di situ, gue ketar ketir. Khawatir takut tidak masuk SNMPTN. Padahal, gue sangat berharap bisa ikut berjuang di sini. Dan setelah me-ranking kasar, gue berada di posisi 150an dari 240 siswa jurusan MIPA. Gue khawatir tidak masuk. Rasanya tuh, sakit-sakit pedih, tapi tidak berdarah. Gue sempat menyalahkan pemerintah, karena mengubah kebijakan ini. Dulu, ketika gue kelas sepuluh, yang bisa ikut SNMPTN sebanyak 70%. Yaudah, gue tenang. Begitu juga ketika gue kelas sebelas, angkatan di atas gue masih bisa 70%. Gue masih tenang. Tapi ketika angkatan gue, malah jadi 50%.

Gue kesal, pertanyaan gue waktu itu, `GIMANA CARANYA MEMPERBAIKI NILAI KELAS SEPULUH SAMA KELAS SEBELAS KETIKA KITA UDAH KELAS DUA BELAS DAN KEBIJAKAN DIUBAH?! BALIK LAGI KE MASA LALU?`

Dan khawatir gue terjadi. Gue tidak masuk SNMPTN.

Gue harus ikut SBMPTN. Kalau seperti ini ceritanya, gue menyerah sebelum berperang. Gue khawatir, sempat nangis. Ngobrol sama bapak, gue bilang kalau gue ragu. Yang bimbel aja pada ditolak SBM, apalagi gue yang tidak ada persiapan sama sekali? Dan beliau bilang, `Aa tahu kalau dulu ibu gimana, gejolak masa muda. Kalau bapak waktu dulu enggak sabar dan memilih untuk menyerah, mungkin sekarang udah pisah. Nah, kalau Aa menyerah sekarang, apa yang Aa dapat?` Jelas gue akan kalah. Oiya, katanya, sewaktu dulu, waktu awal-awal berumah tangga, ibu itu orangnya gampang marah. Sekarang sudah tidak, sekarang lebih bijaksana. Beliau mendukung gue selalu, apapun jalannya.

Ya, akhirnya karena enggak yakin ada biaya, gue daftar bidik misi. Gue daftar SBMPTN dengan KAP dan PIN gratis. Sialnya, gue salah isi kelas tahun masuk. Seharusnya gue masuk kelas sepuluh, tapi malah kelas dua belas. Gue kira waktu itu harus cepat mengisi data borang, tertanya bisa santai. Gue malah sudah menekan cetak kartu. Ya, bodoh sekali waktu itu. Dan gue resah, gue baca di berita-berita, banyak yang gagal lolos SBMPTN karena salah pengisian data tahun masuk. Percuma kalau gue nanti lulus SBMPTN tapi salah di pengisian data. Gue bilang sama Ibu-Bapak, untungnya mereka masih memberi satu kali kesempatan, gue membeli KAP dan PIN baru. Itu artinya, gue harus kehilangan dua ratus ribu.

Ah, microchiropteraL

Oiya, waktu pendaftaran pertama, gue daftar di Tekkim - UI, Tekkim - Undip, dan Agroteknologi - Unpad. Sederhana, karena gue pengin masuk Tekkim, UI dan Undip menerima sekitar 50 maba di jurusan Tekkim. Yang Agroteknologi, karena gue bingung mau pilih apa. Dan dari tiga pilihan itu harus ada universitas yang satu provinsi, jadi ya gue pilih Unpad. Kenapa enggak pilih ITB? Karena ITB hanya 30% dari jalur SBMPTN. Pikiran gue sederhana, peluang.

Tapi kata Bu Hani, guru fisika, pilihan itu terlalu tinggi, harus diganti. Ya gue jawab waktu itu, `Kalau bisa diganti, udah aku ganti, bu.` ya, jawaban yang bego.

`Kenapa?`

`Udah cetak kartu.`

Untuk kalian yang membaca ini, jangan melakukan kesalahan yang sama, ya.

Nah, ketika ada kesempatan mengganti, dan gue minta saran dari beliau, malah diejek. Dan gue masih pada pilihan yang sama. Karena bingung harus berpikir lagi, dan waktu itu pendaftarannya mau ditutup. Tapi, kenyataan microchiroptera-nya, PENDAFTARAN DIPERPANJANG!

Oke, lucu juga ternyata kalau diingat-ingat lagi. Hahaha.

Karena tidak ikut bimbingan belajar, ya gue coba berusaha belajar sendiri. Dari tutorial youtube, buku wangsit dari Fitri teman gue yang lolos SNMPTN dan seleksi PKN-STAN (keren dia emang), dan kumpulan latihan soal-soal dari GO (yang tidak banyak gue kerjakan karena tidak ada pembahasannya) dari Vidi teman gue yang lolos SNMPTN FTTM-ITB (Iya, 3 tahun dia juara 1 paralel mulu).

Kenapa enggak pakai zenius, quipper, dan sebagainya?

Ingin sekali rasanya mendekatkan bibir ke ke telinga orang yang memberi saran, `Bikin akun Zenius aja.` atau, `Bikin akun Quipper aja.`, lalu berbisik, ``Aku enggak gaduh artos sayangku..`` yang artinya, ``Aku enggak punya uang sayangku..`` Tapi, jika melakukan hal itu, akan memberi dampak geli-geli nikmat di telinga mereka yang akan memberikan rasa ketagihan.

Ya, Gue mencoba menikmati proses belajar itu, ternyata lumayan banyak materi yang baru gue pahami sendiri. Gue pernah berpikir, `Seandainya waktu dulu gue tidak terlalu menikmati hidup di organisasi, mungkin gue sudah tenang hari ini?`

Tapi, iya, gue paham. Bukan salah organisasi, tapi gue yang tidak bisa membagi waktu dan malah terlalu senang berada di sana.

Dan akhirnya, tanggal 16 Mei 2017, peperangan besar itu terjadi, gue ikut SBMPTN. Gue menjalaninya dengan perasaan tenang. Meski di ujian saintek, banyak jawaban gue yang ngasal. Entah gue juga belum mencari pembahasannya. Tapi, di mata pelajaran fisika, jawaban gue yang ngasal ada tiga soal yang betul. Yang hasil hitung, dan yang melalui proses penalaran yang rumit, hanya betul beberapa. Mungkin gue banyak salah di biologi dan matematika. Karena soal matematika banyak yang tidak gue paham meski sudah belajar sendiri lewat tutorial di youtube. Dan biologi, sama sekali gue tidak membaca. Karena sibuk di tiga mata pelajaran lainnya. Iya, gue bego.

Gue menunggu hasilnya. Harap-harap cemas. Waktu itu, sebenarnya, gue pengin ikutan UTUL, tapi gue harus ke sana. Gue merasa tidak enak ke orang tua. Mereka sudah memberi gue satu kesempatan (lagi) untuk ikut SBMPTN. Akhirnya gue hanya bisa menunggu SBMPTN keluar.

Dan hari itu datang, 13 Juni 2017. Ketika gue membuka hasil SBMPTN, servernya overload. Dan ketika menggunakan link mirror, gue bisa membukanya. Dan ketika gue baca, gue disuruh jangan putus asa dan tetap semangat.

Entah, tulisan itu maksudnya apa. Gue harus `tetap semangat` buat apa?

Gue pikir lagi tentang keadaan. Ah, semuanya terlalu rumit dijelaskan. Jujur, sampai sekarang, gue belum bisa menerima. Hanya membohongi hati kecil, bahwa semua akan baik-baik saja. Bentar, gue hapus air mata dulu. Untung rumah lagi sepi, gak ada tahu kalau gue nangis sendirian. Cuma lagu The Scientist – Coldplay yang menemani.

Oke, muncul dalam benak gue, `Apa yang seorang lulusan SMA bisa lakukan?`

Oke mungkin banyak cerita tentang orang-orang besar yang berhasil, tanpa melalui pendidikan formal. Tapi Jack Ma (orang terkaya di Cina) pernah bilang, `mungkin sekolah itu tidak penting, tapi tidak ada orang yang sukses dengan tangan kosong.` Dan gue merasa, tangan gue masih kosong. SMA itu untuk mendapatkan dasarnya, dan kuliah untuk menerapkan ilmu yang sudah didapatkan.

Orang tua gue tidak banyak bicara, tapi gue tahu mereka kecewa. Cuma gue hanya merasa sensitif ketika ada orang yang bertanya kepada mereka, `bagaimana hasil SBMPTN-nya?` berulang kali, dan orang tua gue menjawab `Belum jalannya.`

Mereka masih tetap mendukung gue. Gue tahu, mereka berpikir, gue sudah berusaha, dan mereka tidak bisa memberi banyak seperti orang tua lain. Mereka tidak banyak menuntut, dan gue tidak banyak meminta kepada mereka. Tapi gue pengin membuat mereka bangga. Mereka semakin tua. Gue, anak pertama mereka. Pasti menaruh harapan yang besar kepada anak pertamanya.

Mencoba tahun depan?

Entah. Gue ragu. Tahun depan, gue harus berjuang tanpa bidikmisi (eh, apa bisa daftar lagi sih?). Menunda satu tahun, mencoba lagi dengan biaya sendiri. Dan gue juga bingung untuk uang semesteran-nya. Tapi, gue juga pernah dengar sih, katanya, bisa mengajukan. Tapi entah, gue masih bingung untuk membayangkan masa depan. Yang bisa gue lakukan sekarang, mungkin hanya seperti cita-cita gue sewaktu awal masuk SMA.

Sekarang sih, itu yang jadi harapan gue.

Gue pernah baca artikel di line today, tentang orang yang umur 14 tahun lulus ITB tanpa sekolah formal. Gue sedikit terkejut membaca tanpa sekolah formal. Sejak kecil, dia dianggap tidak bisa diam, dan dikeluarkan dari sekolah. Ibunya mengasuh dia. Mengajari dia. Umur depalan tahun sudah bisa mengerjakan soal setingkat SMA. Keren. Mengingatkan gue tentang cerita Thomas Alfa Edison. Dia dikeluarkan dari sekolahnya, dan dididik oleh ibunya yang mendukungnya.

Gue pikir, dan akhirnya meyakini satu hal, setiap orang punya jalannya masing-masing. Meski terjal, itu jalan yang harus dilaluinya. Kita hanya perlu berusaha melaluinya, dan tetap meminta pertolongan dari Allah. Kesabaran, perasaan tidak mudah menyerah, kelapangan hati. Dan hidup yang berkah. Kalau dipikir-pikir lagi, keinginan gue satu, ingin bermanfaat untuk orang lain.

Mungkin, dalam bidang rekayasa bukan gue yang harus mengambilnya. Ada orang lain yang lebih bisa. Bagi kalian, siapa pun yang membaca ini, dan pada jurusan yang tadi gue sebutkan atau pada jurusan lain yang masih satu jalur, tolong wujudkan cita-cita itu. Kalau ada kesempatan, gue juga akan mencoba lagi.

Sekarang yang bisa gue lakukan, hanya duduk dan menulis, atau kadang sambil tiduran deng, ehehe. Menulis sesuatu yang pernah gue mulai, untuk segera diselesaikan. Entah kapan, jangan nunggu, menunggu tanpa kepastian itu berat.

Mungkin dengan gue menulis, gue keluar dari jalur yang sedang orang-orang kejar, dokter, insinyur, atau pejabat (mungkin?). Mungkin, gue akan dipandang sebelah mata sama orang-orang. Tapi ketahuilah, keluar dari jalur seperti ini, butuh keteguhan. Harus bisa menutup telinga mendengar pendapat orang lain, jika mau mendengar kata hati sendiri. Jadi, jangan pernah pandang sebelah mata orang yang gagal, ya? Karena pandangannya enggak bakal jelas. Ehehe.

Dan bagi kalian yang gagal, orang yang sedang berbahagia tidak akan menghibur orang yang sedang bersedih. Kecuali orang yang punya hati. Ya, ditolak SBMPTN itu rasanya kayak ditinggal pergi pas lagi sayang-sayangnya karena ada orang yang baru, dia bahagia sama `seseorang yang baru`, kita di sini terpuruk, mengobati luka sendirian. Mungkin sekarang kalian lagi lihat twibon-twibon gak jelas, atau orang yang upload foto diterima di universitas mana... gitu. Kalau kalian tidak kuat, jangan dulu buka media sosial. Kalau kalian tidak punya banyak teman yang menyemangati, kalian harus bangkit sendiri. Terus semangat ya. Jangan menyerah. Mimpi itu harus dikejar. Kalau akhirnya tidak bisa tergapai, setidaknya kalian pernah belajar berjuang. Ehehe.

Oiya. Tentang hidup. Ketika kita dalam keadaan terpuruk. Pada akhirnya, kita harus belajar menerima, dan tidak boleh menyerah oleh keadaan. Semangat terus, sukses buat kalian!J

Oiya, ngomong-ngomong, terimakasih buat Alya, teman sekelas gue yang lolos SNMPTN Matematika Unpad!, yang menyarankan gue kembali menulis. Semangat kuliahnya, ehehe.

Kuningan, 17 Juni 2017. Pukul 09:07 pagi.



4 komentar:

  1. HAHAHA pipis parabola sempurna anjir. Setelah sekian lama akhirnya saya baru saja menemukan kosa kata yang lebih halus dari kata menyontek, mengelabui pengawas haha jalan terus pak! Banyak jalan menuju Roma, Roma Irama

    btw, microchiroptera itu apa ya kakak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Majuu, jalan! Hahaha..

      Search aja di google `Microchiroptera`,
      Kalau enggak ketemu, cari dengan kata `Kampret`. Hehehe..

      Hapus
  2. Wah cerita ini sangat microchiroptera sekali! Gue sedih banget bacanya, tapi kadang pengen ketawa juga, apalagi yg waktu SMA elu gak bisa nganterin gebetan.. gue juga waktu SMA gak ada motor, Li. Masa mau nganterin naek angkot? Nyarter mamang angkotnya? Sekali nyarter bisa abis sampe 80rb-100 rb. Microchiropthera sekali!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali bung! Kalau dikumpulkan, kan lumayan, bisa jadi tabungan nikah. Harus selalu diingat, bahwa, nikah itu mahal, apalagi kalau pakai dangdutan. Ehehe.

      Hapus