#NowPlaying The Scientist - Coldplay
Minggu-minggu awal ketika masuk SMA, Pak
Ahmadi guru Bahasa Sunda, pernah bertanya kepada murid-murid kelas X MIPA 3.
Hari itu belum belajar, masih tahap perkenalan. Pak Ahmadi bertanya Nama, asal
sekolah, alamat, dan cita-cita. Ketika menyebutkan cita-cita, waktu itu gue
menjawab, ingin jadi penulis.
Waktu itu, gue terinspirasi untuk jadi
penulis, iya, karena Raditya Dika. Katanya, dia penulis Komedi nomor satu. Dia
menuliskan kisah cintanya yang gagal dalam setiap bukunya. Dan saat itu, gue
juga ingin seperti dia, bercerita. Gue punya banyak kisah cinta yang absurd,
yang kebanyakan tentang jatuh cinta sendirian. Keinginan gue sederhana banget
waktu itu.
Ketika masuk kelas sebelas (kelas 2 SMA),
Pak Ade guru Sejarah, bercerita tentang penjajah Belanda yang berhasil
menerapkan sistem tanam paksa. Banyak kerugian yang Indonesia dapat. Banyak
orang pribumi yang tadinya gemuk menjadi kurus, kekurangan gizi, dan
berpenyakit. Gue lupa-lupa ingat apa yang Pak Ade ceritakan ehehe. Yang pasti,
banyak keuntungan yang Belanda dapat. Kas negara yang tadinya habis karena
dipakai Perang Diponegoro (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Perang Padri (di
Sumatera Barat), menjadi penuh kembali, malah surplus. Hutang-hutang VOC lunas.
Masih banyak deh keuntungannya, coba kalian seacrhing aja, ehehe.
Kata Pak Ade, `Nah, lihat, banyak
keuntungan untuk Belanda. Hutang VOC lunas, kas negara penuh kembali, coba kalau
Indonesia menerapkan tanam paksa. Makmur negeri kita.` Pak Ade biasa
menjelaskan dengan logat Sunda Kuningan-nya yang khas. Pak Ade, akan menjadi
guru yang berkesan untuk gue, sederhana, selalu berpandangan positif, ramah,
suka bercanda tapi yang membuat kita `mikir`. Jarang ulangan juga.
Pak Ade tidak menuntut banyak, beliau selalu menanamkan nilai moral, kejujuran,
perjuangan, kerja keras. Ya gitu-gitu deh.
`Nah, masalahnya, di negara kita malah
banyak membangun Industri, lahan banyak dibangun pabrik, dan banyak anak petani
yang enggak mau menjadi petani. Kenapa? Karena kehidupannya kurang sejahtera.`
kata Pak Ade, anak-anak mendengarkan dengan seksama, `Mungkin nanti, beberapa
tahun kedepan, pekerjaan sebagai petani akan hilang di KTP.`
`Mungkin bagus, kalau doktor,
ilmuan-ilmuan Indonesia mengembangkan hasil pertanian di Indonesia. Apokat,
direkayasa, jadi Apokat tanpa biji, misalnya. Beras kita dapat impor. Dan
penjualan beras juga enggak adil. Si Ibu A beli beras satu kilo, si Ibu B beli
beras satu kilo, emang sama jumlah butirnya?` anak-anak kelas ketawa waktu itu,
`coba pang hitungkeun. Dibilang, sok mangga, dibilang.`
(coba tolong dihitung, silakan dihitung satu-satu), dengan logat Sunda
Kuningan-nya, anak-anak kelas semakin tertawa.
`Kenapa tidak kita rekayasa, buat beras
khas dari Indonesia. Beras yang tadinya sebesar butir, jadi sebesar pepaya?`
ya, gitu, kalau pak Ade ngajar,
`Kan, mungkin pas beli beras jadi enak
hitungnya.`
Penjual :
Beli berapa bu?
Pembeli :
Sepuluh ribu
Penjual :
Oh, lima remeh. (Lima butir)
Kami tertawa lagi.
`Negara kita itu kaya, tapi kita terlena.
Negeriku.. negeriku..` kata beliau,
Dari sini, gue berpikir, iya juga
ya. Gue juga kadang berpikir tentang raskin (beras miskin) yang (sekarang
katanya berubah jadi rastra (beras sejahtera) tapi dengan rasa yang sama)
sering gue makan. Kalau kalian, belum pernah mencoba bagaimana rasanya, cobain
deh, kadang keras, kadang kalau dimakan dengan lauk tempe goreng yang gue suka,
selera makan jadi hilang. Gue bertanya sendiri, kenapa raskin bisa
sampai ada? Kenapa tidak memberi beras yang terbaik supaya mencerdaskan
kehidupan bangsa?
Dari situ, akhirnya, gue ingin menjadi
ilmuan. Perekayasa. Ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Gue cari
jurusan-jurusan yang bisa jadi perekayasa. Ternyata, gue baru tahu, jurusan
FMIPA itu untuk ilmuan, dan rekayasa itu biasanya ada di teknik-teknik biologi.
Agroteknologi, Teknik pertanian, Rekayasa Hayati dan Nabati. Gitu-gitu. Tapi,
gue pengin juga jadi ilmuan yang tidak hanya dalam satu bidang. Dan gue
menemukan jurusan yang luas, Teknik Kimia. Gue ingat, Pak Ade juga
pernah cerita tentang Dr. Warsito Purwo Taruno, lulusan Teknik Kimia UGM dan
Shizouka University, yang membuat alat terapi kanker. Dari Teknik Kimia jadi ke
kesehatan. Enggak melulu Teknik Kimia itu soal Industri.
Masalahnya, peminat Teknik Kimia banyak.
Gue sempat ragu memilih jurusan ini. Tapi, untuk mencoba, kenapa enggak? Tapi,
masalah-masalah lain muncul ketika hari untuk berjuang di SNMPTN, SBMPTN, dan
lain-lainnya.
Sewaktu SMA, gue adalah anak yang aktif
mengikuti organisasi siswa intra sekolah. Waktu kelas sepuluh, kalian bisa tanya
ke kakak kelas gue. Siapa yang sepulang sekolah langsung datang ke ruang OSIS?
Atau, siapa yang sering pulang sore, malam, atau bahkan menginap di sekolah
ketika ada kegiatan? Gue akan ada di salah satu jawaban mereka. Gue tidak ikut
bimbel. Alasannya karena: Pertama, gue pikir, di sekolah juga cukup. Nilai gue
tidak jelek-jelek amat, selalu berada di tengah-tengah jumlah siswa satu kelas.
Kedua, gue tidak punya biaya untuk ikut bimbel. Oke, kita bicara tentang
keluarga. Keluarga gue bukan kelas menengah ke bawah, mungkin ada di bawah
malah. Sewaktu SMP, gue masuk sekolah yang banyak peminatnya di Kuningan, dan
gue tidak membayar SPP. Nilai UN SMP gue lumayan bagus, dan rapot cukup
memuaskan. Gue masuk SMA yang banyak peminatnya di Kuningan. Dan, gratis.
Mungkin, banyak orang-orang yang tahu
tentang gue. Tapi tidak banyak orang yang tahu tentang ini. Gue curhat ya.
Ehehe. Iya, ini juga salah satu alasan kenapa gue tidak pernah berani
mengungkapkan perasaan kepada orang yang gue suka. Cinta masa SMA itu rumit
tidak seperti cinta sewaktu gue SD. Ehehe, lucu juga sih.
Iya, cinta masa SMA itu sulit untuk gue
raih. Ketika gue lihat anak-anak lain gitu, bawa motor ke sekolah, bahkan
memasuki kelas dua belas, ada yang bawa mobil. Cukup keras, dan sulit hidup
berbeda dengan kebanyakan. Tapi gue masih bisa bergaul sama mereka. Berbeda
sama cinta sewaktu SD. Sederhana. Tatap-tatapan dari tempat duduk aja seneng
banget. SMSan sampai malam. Car Free Day bareng. Bercanda bareng. Kesana kemari
masih dijemput orang tuanya. Ketika SMA, antar jemput adalah tugas seorang
cowok. Dan gue, tidak termasuk cowok seperti itu.
Makanya, ketika gue SMA dan dekat sama
cewek, ya hanya bisa sampai dekat, tidak bisa untuk mengikat. Ya ampun,
bahasanya. Hahaha. Ya, takut kehilangan, kalau nanti dia menemukan yang bisa
membuat dia lebih nyaman. Dan bisa antar jemput tentunya. Menghabiskan banyak
waktu berdua lebih lama.
Sewaktu SD gue pernah punya pacar, kami
tidak menuju SMP yang sama. Kami pisah. Gue yang memutuskan, itu pun tidak
secara langsung, ya, maklum waktu itu gue pipis juga masih zig-zag, belum bisa
parabola sempurna. Dan ketika masuk SMA, ternyata dia juga masuk SMA yang sama.
Sedikit canggung. Dan micro-chiroptera-nya, kelas sebelas dan dua belas, kami
satu kelas. Ehehe, udah ah bahas yang kayak gininya.
Balik lagi ke cerita utama, ya.
Waktu SMA, gue sebenarnya tidak terlalu
niat masuk OSIS, gue diajak sama Akang pembimbing sewaktu Program Pengenalan
Lingkungan Sekolah. Gue sempat ragu. Tapi, saat gue baca selebaran OSIS, di
situ tertulis, `Jangan tanyakan apa yang sekolah beri padamu, tapi tanyakan apa
yang kamu berikan kepada sekolahmu.`
Saat itu, gue berpikir, gue sudah dikasih
bebas biaya sekolah di sini. Kalau untuk prestasi belum tentu bisa gue kasih.
Eh, bisa sih, asal ada guru yang mau membimbing gue lebih, kayak waktu SD,
ehehe. Balik lagi, ya prestasi belum tentu bisa gue kasih, gue akhirnya
mengabdi sebagai pengurus OSIS di SMA. Banyak kenangan masuk organisasi. Dan
gue banyak belajar di dalamnya, ehehe. Kalau bisa, ingin diulang.
Ya, waktu itu, yang tadinya enggak niat
gue malah `terlalu` menikmati, yang malah membuat gue sedikit tertinggal.
Sewaktu kelas sepuluh aja, gue enggak bisa konfigurasi elektron. Hahaha, lemah.
Ya, waktu berjalan, gue menikmatinya. Nilai gue tidak terlalu buruk, di rapot
nilai tujuh paling hanya ada satu. Gue berusaha sebisanya, tidak menyontek saat
ujian-ujian semester atau kenaikan kelas. Karena dari SMP emang gitu. Gue akan
berusaha mengerjakan apapun yang gue bisa. Kalau kira-kira gue bisa mendapat
nilai yang pas, tidak terlalu kecil atau pun besar, dan tidak dibawah kkm, gue
akan selesai mengerjakan. Tapi kalau sebaliknya, gue akan berusaha, mengelabui
pengawas.
Tapi kebiasaan buruk itu hanya terjadi
kelas sepuluh, masih membawa kebiasaan dulu. Tapi kelas sebelas dan dua belas,
gue tidak melakukannya, paling sekali kalau gak salah. Ya, karena ada janji
yang harus gue tepati, sama seseorang. Ehehe.
Dan, ketika kelas dua belas, gue mendengar
kabar bahwa, SNMPTN HANYA MENERIMA 50% DARI JUMLAH SISWA. Di situ, gue ketar
ketir. Khawatir takut tidak masuk SNMPTN. Padahal, gue sangat berharap bisa
ikut berjuang di sini. Dan setelah me-ranking kasar, gue berada di
posisi 150an dari 240 siswa jurusan MIPA. Gue khawatir tidak masuk. Rasanya
tuh, sakit-sakit pedih, tapi tidak berdarah. Gue sempat menyalahkan pemerintah,
karena mengubah kebijakan ini. Dulu, ketika gue kelas sepuluh, yang bisa ikut
SNMPTN sebanyak 70%. Yaudah, gue tenang. Begitu juga ketika gue kelas sebelas,
angkatan di atas gue masih bisa 70%. Gue masih tenang. Tapi ketika angkatan
gue, malah jadi 50%.
Gue kesal, pertanyaan gue waktu itu,
`GIMANA CARANYA MEMPERBAIKI NILAI KELAS SEPULUH SAMA KELAS SEBELAS KETIKA KITA
UDAH KELAS DUA BELAS DAN KEBIJAKAN DIUBAH?! BALIK LAGI KE MASA LALU?`
Dan khawatir gue terjadi. Gue tidak masuk
SNMPTN.
Gue harus ikut SBMPTN. Kalau seperti ini
ceritanya, gue menyerah sebelum berperang. Gue khawatir, sempat nangis. Ngobrol
sama bapak, gue bilang kalau gue ragu. Yang bimbel aja pada ditolak SBM,
apalagi gue yang tidak ada persiapan sama sekali? Dan beliau bilang, `Aa tahu
kalau dulu ibu gimana, gejolak masa muda. Kalau bapak waktu dulu enggak sabar
dan memilih untuk menyerah, mungkin sekarang udah pisah. Nah, kalau Aa menyerah
sekarang, apa yang Aa dapat?` Jelas gue akan kalah. Oiya, katanya, sewaktu
dulu, waktu awal-awal berumah tangga, ibu itu orangnya gampang marah. Sekarang
sudah tidak, sekarang lebih bijaksana. Beliau mendukung gue selalu, apapun
jalannya.
Ya, akhirnya karena enggak yakin ada
biaya, gue daftar bidik misi. Gue daftar SBMPTN dengan KAP dan PIN gratis.
Sialnya, gue salah isi kelas tahun masuk. Seharusnya gue masuk kelas sepuluh,
tapi malah kelas dua belas. Gue kira waktu itu harus cepat mengisi data borang,
tertanya bisa santai. Gue malah sudah menekan cetak kartu. Ya, bodoh sekali
waktu itu. Dan gue resah, gue baca di berita-berita, banyak yang gagal lolos
SBMPTN karena salah pengisian data tahun masuk. Percuma kalau gue nanti lulus
SBMPTN tapi salah di pengisian data. Gue bilang sama Ibu-Bapak, untungnya
mereka masih memberi satu kali kesempatan, gue membeli KAP dan PIN baru. Itu
artinya, gue harus kehilangan dua ratus ribu.
Ah, microchiropteraL
Oiya, waktu pendaftaran pertama, gue
daftar di Tekkim - UI, Tekkim - Undip, dan Agroteknologi - Unpad. Sederhana,
karena gue pengin masuk Tekkim, UI dan Undip menerima sekitar 50 maba di
jurusan Tekkim. Yang Agroteknologi, karena gue bingung mau pilih apa. Dan dari
tiga pilihan itu harus ada universitas yang satu provinsi, jadi ya gue pilih
Unpad. Kenapa enggak pilih ITB? Karena ITB hanya 30% dari jalur SBMPTN. Pikiran
gue sederhana, peluang.
Tapi kata Bu Hani, guru fisika, pilihan
itu terlalu tinggi, harus diganti. Ya gue jawab waktu itu, `Kalau bisa diganti,
udah aku ganti, bu.` ya, jawaban yang bego.
`Kenapa?`
`Udah cetak kartu.`
Untuk kalian yang membaca ini, jangan
melakukan kesalahan yang sama, ya.
Nah, ketika ada kesempatan mengganti, dan
gue minta saran dari beliau, malah diejek. Dan gue masih pada pilihan yang
sama. Karena bingung harus berpikir lagi, dan waktu itu pendaftarannya mau
ditutup. Tapi, kenyataan microchiroptera-nya, PENDAFTARAN DIPERPANJANG!
Oke, lucu juga ternyata kalau
diingat-ingat lagi. Hahaha.
Karena tidak ikut bimbingan belajar, ya
gue coba berusaha belajar sendiri. Dari tutorial youtube, buku wangsit dari Fitri
teman gue yang lolos SNMPTN dan seleksi PKN-STAN (keren dia emang), dan
kumpulan latihan soal-soal dari GO (yang tidak banyak gue kerjakan karena tidak
ada pembahasannya) dari Vidi teman gue yang lolos SNMPTN FTTM-ITB (Iya, 3 tahun
dia juara 1 paralel mulu).
Kenapa enggak pakai zenius, quipper, dan
sebagainya?
Ingin sekali rasanya mendekatkan bibir ke
ke telinga orang yang memberi saran, `Bikin akun Zenius aja.` atau, `Bikin akun
Quipper aja.`, lalu berbisik, ``Aku enggak gaduh artos sayangku..`` yang
artinya, ``Aku enggak punya uang sayangku..`` Tapi, jika melakukan hal itu,
akan memberi dampak geli-geli nikmat di telinga mereka yang akan memberikan
rasa ketagihan.
Ya, Gue mencoba menikmati proses belajar
itu, ternyata lumayan banyak materi yang baru gue pahami sendiri. Gue pernah
berpikir, `Seandainya waktu dulu gue tidak terlalu menikmati hidup di
organisasi, mungkin gue sudah tenang hari ini?`
Tapi, iya, gue paham. Bukan salah
organisasi, tapi gue yang tidak bisa membagi waktu dan malah terlalu senang
berada di sana.
Dan akhirnya, tanggal 16 Mei 2017,
peperangan besar itu terjadi, gue ikut SBMPTN. Gue menjalaninya dengan perasaan
tenang. Meski di ujian saintek, banyak jawaban gue yang ngasal. Entah gue juga
belum mencari pembahasannya. Tapi, di mata pelajaran fisika, jawaban gue yang
ngasal ada tiga soal yang betul. Yang hasil hitung, dan yang melalui proses
penalaran yang rumit, hanya betul beberapa. Mungkin gue banyak salah di biologi
dan matematika. Karena soal matematika banyak yang tidak gue paham meski sudah
belajar sendiri lewat tutorial di youtube. Dan biologi, sama sekali gue tidak
membaca. Karena sibuk di tiga mata pelajaran lainnya. Iya, gue bego.
Gue menunggu hasilnya. Harap-harap cemas.
Waktu itu, sebenarnya, gue pengin ikutan UTUL, tapi gue harus ke sana. Gue
merasa tidak enak ke orang tua. Mereka sudah memberi gue satu kesempatan (lagi)
untuk ikut SBMPTN. Akhirnya gue hanya bisa menunggu SBMPTN keluar.
Dan hari itu datang, 13 Juni 2017. Ketika
gue membuka hasil SBMPTN, servernya overload. Dan ketika menggunakan link
mirror, gue bisa membukanya. Dan ketika gue baca, gue disuruh jangan putus asa
dan tetap semangat.
Entah, tulisan itu maksudnya apa. Gue
harus `tetap semangat` buat apa?
Gue pikir lagi tentang keadaan. Ah, semuanya
terlalu rumit dijelaskan. Jujur, sampai sekarang, gue belum bisa menerima.
Hanya membohongi hati kecil, bahwa semua akan baik-baik saja. Bentar, gue hapus
air mata dulu. Untung rumah lagi sepi, gak ada tahu kalau gue nangis sendirian.
Cuma lagu The Scientist – Coldplay yang menemani.
Oke, muncul dalam benak gue, `Apa yang
seorang lulusan SMA bisa lakukan?`
Oke mungkin banyak cerita tentang
orang-orang besar yang berhasil, tanpa melalui pendidikan formal. Tapi Jack Ma
(orang terkaya di Cina) pernah bilang, `mungkin sekolah itu tidak penting, tapi
tidak ada orang yang sukses dengan tangan kosong.` Dan gue merasa, tangan gue
masih kosong. SMA itu untuk mendapatkan dasarnya, dan kuliah untuk menerapkan
ilmu yang sudah didapatkan.
Orang tua gue tidak banyak bicara, tapi
gue tahu mereka kecewa. Cuma gue hanya merasa sensitif ketika ada orang yang
bertanya kepada mereka, `bagaimana hasil SBMPTN-nya?` berulang kali, dan orang
tua gue menjawab `Belum jalannya.`
Mereka masih tetap mendukung gue. Gue tahu,
mereka berpikir, gue sudah berusaha, dan mereka tidak bisa memberi banyak
seperti orang tua lain. Mereka tidak banyak menuntut, dan gue tidak banyak
meminta kepada mereka. Tapi gue pengin membuat mereka bangga. Mereka semakin
tua. Gue, anak pertama mereka. Pasti menaruh harapan yang besar kepada anak
pertamanya.
Mencoba tahun depan?
Entah. Gue ragu. Tahun depan, gue harus
berjuang tanpa bidikmisi (eh, apa bisa daftar lagi sih?). Menunda satu tahun,
mencoba lagi dengan biaya sendiri. Dan gue juga bingung untuk uang
semesteran-nya. Tapi, gue juga pernah dengar sih, katanya, bisa mengajukan.
Tapi entah, gue masih bingung untuk membayangkan masa depan. Yang bisa gue
lakukan sekarang, mungkin hanya seperti cita-cita gue sewaktu awal masuk SMA.
Sekarang sih, itu yang jadi harapan gue.
Gue pernah baca artikel di line today,
tentang orang yang umur 14 tahun lulus ITB tanpa sekolah formal. Gue sedikit
terkejut membaca tanpa sekolah formal. Sejak kecil, dia dianggap tidak bisa
diam, dan dikeluarkan dari sekolah. Ibunya mengasuh dia. Mengajari dia. Umur
depalan tahun sudah bisa mengerjakan soal setingkat SMA. Keren. Mengingatkan
gue tentang cerita Thomas Alfa Edison. Dia dikeluarkan dari sekolahnya, dan
dididik oleh ibunya yang mendukungnya.
Gue pikir, dan akhirnya meyakini satu hal,
setiap orang punya jalannya masing-masing. Meski terjal, itu jalan yang harus
dilaluinya. Kita hanya perlu berusaha melaluinya, dan tetap meminta pertolongan
dari Allah. Kesabaran, perasaan tidak mudah menyerah, kelapangan hati. Dan
hidup yang berkah. Kalau dipikir-pikir lagi, keinginan gue satu, ingin
bermanfaat untuk orang lain.
Mungkin, dalam bidang rekayasa bukan gue
yang harus mengambilnya. Ada orang lain yang lebih bisa. Bagi kalian, siapa pun
yang membaca ini, dan pada jurusan yang tadi gue sebutkan atau pada jurusan
lain yang masih satu jalur, tolong wujudkan cita-cita itu. Kalau ada
kesempatan, gue juga akan mencoba lagi.
Sekarang yang bisa gue lakukan, hanya
duduk dan menulis, atau kadang sambil tiduran deng, ehehe. Menulis sesuatu yang
pernah gue mulai, untuk segera diselesaikan. Entah kapan, jangan nunggu,
menunggu tanpa kepastian itu berat.
Mungkin dengan gue menulis, gue keluar
dari jalur yang sedang orang-orang kejar, dokter, insinyur, atau pejabat (mungkin?).
Mungkin, gue akan dipandang sebelah mata sama orang-orang. Tapi ketahuilah,
keluar dari jalur seperti ini, butuh keteguhan. Harus bisa menutup telinga
mendengar pendapat orang lain, jika mau mendengar kata hati sendiri. Jadi,
jangan pernah pandang sebelah mata orang yang gagal, ya? Karena pandangannya
enggak bakal jelas. Ehehe.
Dan bagi kalian yang gagal, orang yang
sedang berbahagia tidak akan menghibur orang yang sedang bersedih. Kecuali
orang yang punya hati. Ya, ditolak SBMPTN itu rasanya kayak ditinggal pergi pas
lagi sayang-sayangnya karena ada orang yang baru, dia bahagia sama `seseorang
yang baru`, kita di sini terpuruk, mengobati luka sendirian. Mungkin sekarang
kalian lagi lihat twibon-twibon gak jelas, atau orang yang upload foto diterima
di universitas mana... gitu. Kalau kalian tidak kuat, jangan dulu buka media
sosial. Kalau kalian tidak punya banyak teman yang menyemangati, kalian harus
bangkit sendiri. Terus semangat ya. Jangan menyerah. Mimpi itu harus dikejar.
Kalau akhirnya tidak bisa tergapai, setidaknya kalian pernah belajar berjuang.
Ehehe.
Oiya. Tentang hidup. Ketika kita dalam
keadaan terpuruk. Pada akhirnya, kita harus belajar menerima, dan tidak boleh
menyerah oleh keadaan. Semangat terus, sukses buat kalian!J
Oiya, ngomong-ngomong, terimakasih buat
Alya, teman sekelas gue yang lolos SNMPTN Matematika Unpad!, yang menyarankan
gue kembali menulis. Semangat kuliahnya, ehehe.
Kuningan, 17 Juni 2017. Pukul 09:07 pagi.
HAHAHA pipis parabola sempurna anjir. Setelah sekian lama akhirnya saya baru saja menemukan kosa kata yang lebih halus dari kata menyontek, mengelabui pengawas haha jalan terus pak! Banyak jalan menuju Roma, Roma Irama
BalasHapusbtw, microchiroptera itu apa ya kakak...
Majuu, jalan! Hahaha..
HapusSearch aja di google `Microchiroptera`,
Kalau enggak ketemu, cari dengan kata `Kampret`. Hehehe..
Wah cerita ini sangat microchiroptera sekali! Gue sedih banget bacanya, tapi kadang pengen ketawa juga, apalagi yg waktu SMA elu gak bisa nganterin gebetan.. gue juga waktu SMA gak ada motor, Li. Masa mau nganterin naek angkot? Nyarter mamang angkotnya? Sekali nyarter bisa abis sampe 80rb-100 rb. Microchiropthera sekali!!
BalasHapusBenar sekali bung! Kalau dikumpulkan, kan lumayan, bisa jadi tabungan nikah. Harus selalu diingat, bahwa, nikah itu mahal, apalagi kalau pakai dangdutan. Ehehe.
Hapus