Minggu, 27 Maret 2016

[Cerpen] - Sampai Bertemu Lagi.

Tanpa gue hitung, detik baru saja berganti. Mungkin sudah sekitar dua puluh menit gue berbaring di lantai kamar sambil memandangi foto dia di layar handphone. Selembar kertas binder warna merah jambu dan pulpen tergeletak di samping gue. Bukan untuk menulis surat romantis tanpa nama, tapi sebuah surat perpisahan.

Gue belum menemukan kalimat yang pas. Mungkin alasan itu yang bisa gue katakan. Tapi sebenarnya, gue enggak sanggup untuk menulis surat perpisahan ini. Bahkan untuk menulis sebuah kalimat aja, tangan gue mendadak stroke stadium setengah. Mungkin, lebih baik, kalau gue enggak pergi ke sekolah hari ini.

***

Hari itu Hari Rabu, satu minggu lebih tiga hari setelah liburan semester satu. Istirahat jam pertama sudah berakhir lima belas menit lalu, tapi kantin masih penuh. Gue duduk sendiri di bangku pojok kantin, memesan satu piring siomay. Gue duduk di antara puluhan siswa yang kabur dari jam pelajaran.

Gue enggak seperti mereka, setiap Hari Rabu emang selalu kayak gini, jam istirahat pertama kelas gue diterobos guru sejarah. ‘Tanggung kalau ada jadwal dua jam pelajaran tapi kepotong istirahat.’ Katanya. Karena itu gue baru istirahat sekarang.

‘Kita boleh duduk di sini?’

Gue menoleh kaget, ‘Bo-boleh.’

‘Makasih, ya.’ Gue hanya mengangguk,

Kemudian dia duduk bersama temannya, dan memesan masing-masing satu porsi bakso. Gue masih ingat, waktu itu dia pesan bakso dengan sedikit kuah, kecap agak banyak, tanpa MSG, garpu dan sendok ditaruh dengan jarak enam sentimeter.

Gue lupa apa yang dipesan temannya. Tapi setelah memesan bakso, temannya beranjak dari bangku, kemudian pergi menghampiri bibi kantin buat beli gorengan.

‘Eh, kok gak masuk kelas?’

‘Jam istirahatnya diterobos guru sejarah. Kampret emang.’

‘Guru sejarah itu orang tua gue, lho..’

‘Hah?!’ Gue kaget,

‘Orang tua di sekolah.’ Dia ketawa, gue dibegoin, kampret.

‘Ya, ampun. Gue kira beneran. Kalau bener, mau gue bayarin padahal.’

‘Yaudah kalau gitu, beneran deh.’ Dia tertawa lagi,

Obrolan kami berlanjut sampai pesanan dia datang, temannya kembali, kemudian kami bertiga makan di meja yang sama. Ternyata kami beda dua bulan tiga belas hari kelahiran, dia lahir duluan. Gue kelas sebelas, dia kelas dua belas. Dari obrolan kami di pojok kantin waktu itu, gue jadi tahu namanya Dara dan temannya Sinta.

Pertemuan kami sederhana, tapi berakhir dengan perasaan yang cukup rumit dijelaskan.

Gue iseng cari akun twitter-nya. Setelah ketemu, gue follow dia, diikuti senyum unyu-unyu najis dari wajah gue. Dengan followers hampir mendekati dua ribu, gue baru sadar, ternyata dia adalah kakak kelas yang ramai dibicarakan cowok-cowok angkatan gue. Dia punya wajah yang ramah, senyum yang manis, dan satu pasang bola mata.

Banyak orang yang mengaguminya. Dia menjadi incaran setiap cowok yang melihatnya. Tapi saat itu, gue melihat satu nama yang bertengger di bio twitter-nya, yaitu: Romi. Cowok dari angkatan gue yang berhasil membuat hatinya luluh.

Romi adalah anak futsal. Sekarang dia masih jadi wakil kapten di tim sekolah. Tapi beredar kabar, sebentar lagi dia akan menjadi kapten tim. Gue tahu alasan Dara jadian sama Romi setelah melihat timeline-nya, ternyata Dara suka banget anak futsal.

Lalu, gue mengubur dalam-dalam perasaan yang cukup rumit dijelaskan ini.

Tapi, ternyata keajaiban bisa terjadi kapan aja. Tiba-tiba ada direct message masuk dari Dara. Gue berusaha supaya enggak kegirangan kayak tante-tante yang lihat diskon di Alfamart. Gue membalasnya sedikit gugup, dengan keringat dingin yang bermuncratan kemana-mana.

Sejak saat itu, obrolan kami tidak hanya saat bertemu di kantin atau saat berpapasan di sekolah, tapi di akun sosial media lainnya, kecuali di friendster, karena udah enggak jaman. Kami saling follow instagram, chatting di Whatsapp, BBM, Line. Kita berteman di facebook, dan berteman di dunia nyata.

Sekarang mungkin masih teman, karena masih ada nama Romi yang bertengger di bio twitter dan hatinya. Tapi ketika Romi pergi, gue yakin akan mendapatkan hatinya.

***

Satu bulan berlalu, Romi dilantik jadi kapten tim, yang membuat hubungan Dara sama Romi mulai berantakan. Dara sering cerita, Romi sering meninggalkan Dara main futsal tanpa kasih kabar. Bukannya bahagia, gue malah ikutan sedih kalau tahu Dara sedih seperti sekarang.

‘Coba aja kalau Kak Dara sama gue. Enggak bakalan gue bikin sedih kayak gitu.’

Gumam gue saat itu. Seperti orang-orang ketika lagi suka sama pacar orang, gue akan terus berada di samping dia. Meluangkan waktu gue buat dia. Menenangkan dia ketika ‘dunianya’ membisu, ya, ketika Romi sibuk main futsal dan tidak memberi kabar.

Dua bulan berlalu seperti itu. Banyak hari yang gue lewati bareng Kak Dara, gue seperti diary yang tahu segala keresahan Kak Dara. Sekarang, Kak Dara mulai fokus UN, dia mulai merencanakan akan melanjutkan ke mana, masuk jurusan apa. Banyak melakukan pertimbangan, yang tentunya sering meminta saran dari gue.

Tiga bulan berlalu, akhirnya hubungan Kak Dara dan Romi bertemu pada sebuah kalimat, ‘Kayaknya kita udah enggak cocok deh, kita putus aja, ya.’ Kalimat itu keluar dari mulut Romi dan mengakhiri semua masa-masa indah yang telah mereka lewati.

Ini kesempatan yang baik buat gue. Satu minggu setelah mereka berdua putus, gue janjian bareng Kak Dara–selama ini kami masih menggunakan panggilan biasa, gue memanggil dia kakak, dia memanggil gue nama. Belum pernah kami berlanjut ke tahap aku-kamu– di tempat pertama kali kita berdua bertemu. Di bangku pojok kantin.

‘Kak Dara, ada  yang mau Didi omongin.’ Kalimat itu membuka percakapan kami.

‘Apa? Ngomong aja kali, Di.’

‘Aku suka sama kakak. Dan–’

‘Sejak pertama kali kamu nge-add di facebook, kamu cuma ngajak pertemanan, kan?’ dia memotong kalimat gue,

‘Oh, gitu. Ya udah, deh. Aku ngerti.’ Gue sadar, gue ditolak.

‘Bukan maksud aku nolak kamu, Di. Setelah dibuat kecewa, aku masih ragu untuk mempercayakan perasaan ini kepada orang lain. Lagi pula sebentar lagi kita bakalan pisah, bakalan jauh satu sama lain.’

‘Jadi?’

‘Kita kayak gini aja. Tanpa ada yang berubah. Aku enggak mau kamu menjauh.’

Bumi yang gue pijak ini seolah menjadi ruang hampa. Gue tidak mendengarkan apa-apa lagi setelah kalimat barusan. Semuanya sudah jelas, dia tidak mungkin gue raih. Di pojok seberang, gue melihat satu kecoak melintas dengan cepat, kemudian terbang mengejutkan orang di dekatnya. Tapi setelah orang terkejut, kecoak itu berubah arah.

Kecoak bisa berubah arah kalau lagi terbang. Gak jelas ke mana arahnya. Keadaannya sama seperti Sekarang, gue seperti kecoak terbang itu. Kak Dara terkejut dengan kalimat gue, dan sekarang, gue tak tahu ke mana harus terbang.

***

Maka, di sinilah gue sekarang. Di depan selembar kertas binder merah jambu dan pulpen, bingung akan menulis apa. Tapi setelah mengingat kejadian di kantin tiga bulan lalu, gue tahu apa yang akan gue tulis, dan apa yang akan gue sampaikan.

Selesai ditulis. Gue siap-siap pergi ke acara perpisahan kelas dua belas di sekolah, memberanikan diri untuk bertemu Kak Dara, meski untuk terakhir kalinya. Lapangan sudah ramai, gue mencari Kak Dara diantara kerumunan. Dan... gue menemukannya.

Dia terlihat paling cantik hari ini dengan kerudung warna hijau-tosca, dengan sedikit corak merah jambu. Gaunnya selaras dengan kerudung yang dia pakai. Sebenarnya gue tahu gaun ini, karena dia meminta saran dari gue, tapi gue enggak tahu gaun itu akan seindah ini kalau dia pakai. Gue melambai ke arahnya, dia tersenyum, lalu mendekat. Gue memberikan sepucuk amplop yang telah gue tulis kalimat perpisahan untuk dia.


‘Aku tahu, saat ini kakak belum bisa membalas perasaan ini. Setiap kita bertemu, kita hanya saling menyapa satu sama lain. Tapi, kalau suatu hari kita bertemu lagi, kalau perasaan ini masih ada, aku ingin kita lebih dari hanya sekadar menyapa. Terima kasih untuk kenangan satu semester-nya, semoga kita bertemu lagi.’


'Perpisahan bukan untuk mengucapkan selamat tinggal, tapi, sampai bertemu lagi.'


Tidak ada komentar:

Posting Komentar