Tanpa gue hitung, detik baru saja
berganti. Mungkin sudah sekitar dua puluh menit gue berbaring di lantai kamar
sambil memandangi foto dia di layar handphone. Selembar kertas
binder warna merah jambu dan pulpen tergeletak di samping gue. Bukan untuk
menulis surat romantis tanpa nama, tapi sebuah surat perpisahan.
Gue belum menemukan kalimat yang pas.
Mungkin alasan itu yang bisa gue katakan. Tapi sebenarnya, gue enggak sanggup
untuk menulis surat perpisahan ini. Bahkan untuk menulis sebuah kalimat aja,
tangan gue mendadak stroke stadium setengah. Mungkin, lebih baik, kalau gue
enggak pergi ke sekolah hari ini.
***
Hari itu Hari Rabu, satu minggu lebih tiga
hari setelah liburan semester satu. Istirahat jam pertama sudah berakhir lima
belas menit lalu, tapi kantin masih penuh. Gue duduk sendiri di bangku pojok
kantin, memesan satu piring siomay. Gue duduk di antara puluhan siswa yang
kabur dari jam pelajaran.
Gue enggak seperti mereka, setiap Hari
Rabu emang selalu kayak gini, jam istirahat pertama kelas gue diterobos guru
sejarah. ‘Tanggung kalau ada jadwal dua jam pelajaran tapi kepotong istirahat.’
Katanya. Karena itu gue baru istirahat sekarang.
‘Kita boleh duduk di sini?’
Gue menoleh kaget, ‘Bo-boleh.’
‘Makasih, ya.’ Gue hanya mengangguk,
Kemudian dia duduk bersama temannya, dan
memesan masing-masing satu porsi bakso. Gue masih ingat, waktu itu dia pesan
bakso dengan sedikit kuah, kecap agak banyak, tanpa MSG, garpu dan sendok
ditaruh dengan jarak enam sentimeter.
Gue lupa apa yang dipesan temannya. Tapi
setelah memesan bakso, temannya beranjak dari bangku, kemudian pergi
menghampiri bibi kantin buat beli gorengan.
‘Eh, kok gak masuk kelas?’
‘Jam istirahatnya diterobos guru sejarah.
Kampret emang.’
‘Guru sejarah itu orang tua gue, lho..’
‘Hah?!’ Gue kaget,
‘Orang tua di sekolah.’ Dia ketawa, gue
dibegoin, kampret.
‘Ya, ampun. Gue kira beneran. Kalau bener,
mau gue bayarin padahal.’
‘Yaudah kalau gitu, beneran deh.’ Dia
tertawa lagi,
Obrolan kami berlanjut sampai pesanan dia
datang, temannya kembali, kemudian kami bertiga makan di meja yang sama.
Ternyata kami beda dua bulan tiga belas hari kelahiran, dia lahir duluan. Gue
kelas sebelas, dia kelas dua belas. Dari obrolan kami di pojok kantin waktu
itu, gue jadi tahu namanya Dara dan temannya Sinta.
Pertemuan kami sederhana, tapi berakhir
dengan perasaan yang cukup rumit dijelaskan.
Gue iseng cari akun twitter-nya.
Setelah ketemu, gue follow dia, diikuti senyum unyu-unyu najis
dari wajah gue. Dengan followers hampir mendekati dua ribu,
gue baru sadar, ternyata dia adalah kakak kelas yang ramai dibicarakan
cowok-cowok angkatan gue. Dia punya wajah yang ramah, senyum yang manis, dan
satu pasang bola mata.
Banyak orang yang mengaguminya. Dia
menjadi incaran setiap cowok yang melihatnya. Tapi saat itu, gue melihat satu
nama yang bertengger di bio twitter-nya, yaitu: Romi. Cowok dari
angkatan gue yang berhasil membuat hatinya luluh.
Romi adalah anak futsal. Sekarang dia
masih jadi wakil kapten di tim sekolah. Tapi beredar kabar, sebentar lagi dia
akan menjadi kapten tim. Gue tahu alasan Dara jadian sama Romi setelah
melihat timeline-nya, ternyata Dara suka banget anak futsal.
Lalu, gue mengubur dalam-dalam perasaan
yang cukup rumit dijelaskan ini.
Tapi, ternyata keajaiban bisa terjadi
kapan aja. Tiba-tiba ada direct message masuk dari Dara. Gue
berusaha supaya enggak kegirangan kayak tante-tante yang lihat diskon di
Alfamart. Gue membalasnya sedikit gugup, dengan keringat dingin yang
bermuncratan kemana-mana.
Sejak saat itu, obrolan kami tidak hanya
saat bertemu di kantin atau saat berpapasan di sekolah, tapi di akun sosial
media lainnya, kecuali di friendster, karena udah enggak jaman. Kami
saling follow instagram, chatting di
Whatsapp, BBM, Line. Kita berteman di facebook, dan berteman di dunia nyata.
Sekarang mungkin masih teman, karena masih
ada nama Romi yang bertengger di bio twitter dan hatinya. Tapi
ketika Romi pergi, gue yakin akan mendapatkan hatinya.
***
Satu bulan berlalu, Romi dilantik jadi
kapten tim, yang membuat hubungan Dara sama Romi mulai berantakan. Dara sering
cerita, Romi sering meninggalkan Dara main futsal tanpa kasih kabar. Bukannya
bahagia, gue malah ikutan sedih kalau tahu Dara sedih seperti sekarang.
‘Coba aja kalau Kak Dara sama gue. Enggak
bakalan gue bikin sedih kayak gitu.’
Gumam gue saat itu. Seperti orang-orang
ketika lagi suka sama pacar orang, gue akan terus berada di samping dia.
Meluangkan waktu gue buat dia. Menenangkan dia ketika ‘dunianya’ membisu, ya,
ketika Romi sibuk main futsal dan tidak memberi kabar.
Dua bulan berlalu seperti itu. Banyak hari
yang gue lewati bareng Kak Dara, gue seperti diary yang tahu segala keresahan
Kak Dara. Sekarang, Kak Dara mulai fokus UN, dia mulai merencanakan akan
melanjutkan ke mana, masuk jurusan apa. Banyak melakukan pertimbangan, yang
tentunya sering meminta saran dari gue.
Tiga bulan berlalu, akhirnya hubungan Kak
Dara dan Romi bertemu pada sebuah kalimat, ‘Kayaknya kita udah enggak cocok
deh, kita putus aja, ya.’ Kalimat itu keluar dari mulut Romi dan mengakhiri
semua masa-masa indah yang telah mereka lewati.
Ini kesempatan yang baik buat gue. Satu
minggu setelah mereka berdua putus, gue janjian bareng Kak Dara–selama ini kami
masih menggunakan panggilan biasa, gue memanggil dia kakak, dia memanggil gue
nama. Belum pernah kami berlanjut ke tahap aku-kamu– di tempat
pertama kali kita berdua bertemu. Di bangku pojok kantin.
‘Kak Dara, ada yang mau Didi
omongin.’ Kalimat itu membuka percakapan kami.
‘Apa? Ngomong aja kali, Di.’
‘Aku suka sama kakak. Dan–’
‘Sejak pertama kali kamu nge-add di
facebook, kamu cuma ngajak pertemanan, kan?’ dia memotong kalimat gue,
‘Oh, gitu. Ya udah, deh. Aku ngerti.’ Gue
sadar, gue ditolak.
‘Bukan maksud aku nolak kamu, Di. Setelah
dibuat kecewa, aku masih ragu untuk mempercayakan perasaan ini kepada orang
lain. Lagi pula sebentar lagi kita bakalan pisah, bakalan jauh satu sama lain.’
‘Jadi?’
‘Kita kayak gini aja. Tanpa ada yang
berubah. Aku enggak mau kamu menjauh.’
Bumi yang gue pijak ini seolah menjadi
ruang hampa. Gue tidak mendengarkan apa-apa lagi setelah kalimat barusan.
Semuanya sudah jelas, dia tidak mungkin gue raih. Di pojok seberang, gue
melihat satu kecoak melintas dengan cepat, kemudian terbang mengejutkan orang
di dekatnya. Tapi setelah orang terkejut, kecoak itu berubah arah.
Kecoak bisa berubah arah kalau lagi
terbang. Gak jelas ke mana arahnya. Keadaannya sama seperti Sekarang, gue
seperti kecoak terbang itu. Kak Dara terkejut dengan kalimat gue, dan sekarang,
gue tak tahu ke mana harus terbang.
***
Maka, di sinilah gue sekarang. Di depan
selembar kertas binder merah jambu dan pulpen, bingung akan menulis apa. Tapi
setelah mengingat kejadian di kantin tiga bulan lalu, gue tahu apa yang akan
gue tulis, dan apa yang akan gue sampaikan.
Selesai ditulis. Gue siap-siap pergi ke
acara perpisahan kelas dua belas di sekolah, memberanikan diri untuk bertemu
Kak Dara, meski untuk terakhir kalinya. Lapangan sudah ramai, gue mencari Kak
Dara diantara kerumunan. Dan... gue menemukannya.
Dia terlihat paling cantik hari ini dengan
kerudung warna hijau-tosca, dengan sedikit corak merah jambu. Gaunnya selaras
dengan kerudung yang dia pakai. Sebenarnya gue tahu gaun ini, karena dia
meminta saran dari gue, tapi gue enggak tahu gaun itu akan seindah ini kalau
dia pakai. Gue melambai ke arahnya, dia tersenyum, lalu mendekat. Gue
memberikan sepucuk amplop yang telah gue tulis kalimat perpisahan untuk dia.
‘Aku tahu, saat ini kakak belum bisa
membalas perasaan ini. Setiap kita bertemu, kita hanya saling menyapa satu sama
lain. Tapi, kalau suatu hari kita bertemu lagi, kalau perasaan ini masih ada,
aku ingin kita lebih dari hanya sekadar menyapa. Terima kasih untuk kenangan
satu semester-nya, semoga kita bertemu lagi.’
'Perpisahan bukan untuk mengucapkan selamat
tinggal, tapi, sampai bertemu lagi.'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar