Tanpa gue hitung, detik baru saja
berganti. Mungkin sudah sekitar dua puluh menit gue berbaring di lantai kamar
sambil memandangi foto dia di layar handphone. Selembar kertas
binder warna merah jambu dan pulpen tergeletak di samping gue. Bukan untuk
menulis surat romantis tanpa nama, tapi sebuah surat perpisahan.
Gue belum menemukan kalimat yang pas.
Mungkin alasan itu yang bisa gue katakan. Tapi sebenarnya, gue enggak sanggup
untuk menulis surat perpisahan ini. Bahkan untuk menulis sebuah kalimat aja,
tangan gue mendadak stroke stadium setengah. Mungkin, lebih baik, kalau gue
enggak pergi ke sekolah hari ini.